Awal
Muharram, saya numpang mobil seorang teman senior dalam perjalan dari Jalan
Raden Patah di belakang Mabes Polri menuju ke Jalan Saharjo dekat Tugu
Pancoran. Teman saya, sebut saja inisialnya RM HS ini adalah seorang PNS yang
bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat dan Departemen Pekerjaan Umum. Di luar
profesinya sebagai PNS, pria kelahiran Madiun Jawa Timur ini adalah guru silat
dari perguruan silat terkenal, yang banyak pengikutnya di beberapa daerah di
sekitar Gunung Lawu.
Sebagai
orang Jawa yang memegang teguh nilai dan budaya Jawa, teman senior saya ini
mempunyai keahlian khusus orang Jawa, yaitu merawat dan membersihkan keris. Dia
menyimpan banyak keris, dan di rumahnya banyak keris dipajang di ruang tamu dan
ruang-ruang lain, bahkan ada lemari khusus untuk menyimpan keris. Menurutnya,
keris-keris tersebut bukan miliknya semua, malah lebih banyak yang merupakan
titipan dari pemilik atau pewarisnya. Setidaknya ada dua alasan orang
menitipkan keris, pertama titip untuk dijual apabila ada yang cocok dan
berminat dan kedua, pewaris yang menitipkan keris karena tidak tahu harus
diapakan. Kelompok kedua ini menitipkan keris ada yang karena merasa sudah
tidak jamannya, malas merawat, perasa tidak nyaman, atau menganggap keris
sebagai benda klenik yang harus dijauhi. Semua keris yang dititipkan ke dia
diberikan tanda tulisan tentang pemilik dan pewarisnya, agar mudah jika
sewaktu-waktu mau diambil kembali.
Di tahun
baru menurut Kalender Jawa atau tahun baru Hijriyah, yaitu di bulan Muharam
atau bulan Suro, keris yang ada di rumahnya makin banyak, karena ada orang
minta tolong dicucikan keris. Mereka ini merupakan kalangan masyarakat yang mau
menyimpan keris tapi tidak sempat atau tidak tahu cara merawat keris
sebagaimana layaknya keris diperlakukan agar tidak rusak, tampilannya tetap
bagus. “..plus tuah dan auranya baik,” katanya.
Di tengah
kemacetan jalan Gatot Subroto, saya pun bertanya untuk menjaga situasi tetap
santai, “Pak, sebenarnya keris itu apa sih? Katanya ada keris sakti..”
Sejenak diam
berpikir, dia memberi jawaban sambil terus mengemudi.
“Pertama,
kalo kita lihat benda yang tampak berbentuk keris, sebenarnya belum tentu
keris, Mas. Bisa jadi itu keris-kerisan bisa juga memang keris keneran,” dia
menjawab dengan yakin, tapi saya tidak ngerti apa maksudnya keris-kerisan.
“Maksudnya
Pak?” tanyaku.
“Keris-kerisan
itu,” lanjutnya “...hanya logam biasa yang dibentuk seperti keris, runcing,
meliuk-liuk, tapi tidak ada pamornya, logamnya tidak ditempa berlapis-lapis dan
berlipat-lipat. Malah ada yang berupa lempengan seng yang digunting berbentuk
keris”.
Selanjutnya
dia menjelaskan dengan panjang-lebar:
“Sederhananya,
keris bisa dilihat dari logam bahannya. Ada paduan logam utama dan logam
pamornya. Pamornya bisa berupa nikel, logam yang berasal dari meteor, maupun
titanium. Logam disusun berlapis, ditempa, dilipat, ditempa lagi sampai ratusan
kali sampai membetuk garis corak hasil perpaduan warna logam.”
Dia
menjelaskan dengan mantap sambil nyetir, terkesan bercanda tapi tidak Nampak
tersenyum.
“Nah,
keris yang benar-benar keris ini juga ada dua jenis,” lanjutnya tiba-tiba dan
tentu saja membuat saya penasaran.
“Pertama, keris untuk gaya, yang
fungsinya sebagai simbul reputasi, menunjukkan kelas sosial pemiliknya. Ya..
kalo sekarang ibarat sedan mercy-lah, simbolkan kelas sosial atas, yang
bonafit, kredibel. Keris model begini logamnya bagus, pamornya berkelas, kadang
dilapisi emas, ditatahkan batu permata jamrud, safir bahkan berlian. Pada masa
Kerajaan dulu keris diberikan corak khusus yang menandakan lisensi kerajaan.
Pemiliknya bisa dianggap kaya, punya kuasa, atau dipercaya orang yang sedang
berkuasa. Jadi pemiliknya mempunyai reputasi atau ‘awu’ yang kuat.”
Dia
berhentik sejenak, lalu saya bertanya lagi “Kalau keris yang konon punya
kesaktian bagaimana pak?”
“Soal
keris yang dianggap sakti, beda lagi ceritanya,” katanya. “Dalam proses pembuatannya,
si pembuat memasukkan energi ke dalam keris pada saat penempaan dan pelipatan
logam.”
Aku
sedikit penasaran tapi tidak tanya, “Energi apa yang dimasukkan dan bagaimana
memasukkanya”.
“Energi
yang dimasukkan tergantung kepada yang memesan keris, apa posisinya dan berapa
biayanya.” Dia melanjutkan seolah tahu pertanyaan saya. Kali ini dia sambil
senyum.
“Kalo
seorang kopral dengan anggaran terbatas, energi yang dimasukkan adalah aura
berani tempur, lincah, kuat dan mungkin juga kebal, karena memang itu yang
dibutuhkan oleh orang di dalam pertempuran. Jika yang memesan adalah Kapolres, beda lagi
energinya. Apalagi keris yang dipesan oleh seorang jenderal yang posisinya
tinggi dan punya anggaran ‘cukup’. Energi yang diinstal adalah auranya berpikir
strategis, ngobrolnya cerdas, terpercaya, berwibawa, kawan terkesima dan anak
buah patuh dengan instruksinya.”
Tapi di
sini ada bahayanya mas,” katanya membuat saya kembali menyimak. “...yang bahaya
adalah Jenderal yang punya keris seorang prajurit tempur. Pangkatnya jenderal,
posisi panglima, tapi auranya pingin tempur terus, mikirnya tidak strategis,
dan kalo anak buah menghadapi kesulitan dia malah ingin maju tempur sendiri.
Mungkin energi yang dimasukkan adalah energy buaya, jadi auranya buaya.. he
he.”
Saya ikut
tertawa, jadi ingat “Truno 3” kawannya Anggodo, jangan-jangan salah nyimpan
keris milik seorang brigadir yang beraura buaya.
Lucu juga
penjelasan kawan RM HS ini. Saya jadi ingat seorang teman, teman asal Solo,
yang ngaku punya keris “tunggu kasur”. Teman saya yang dikenal teman-teman
sebagai bangsawan dam tinggal di dalam benteng ini pernah memberi tahu bahwa
keris ini berfungsi menemani pemiliknya dalam melakukan aktivitas di atas
kasur.
Kali ini saya
iseng bertanya “Ada teman saya orang Solo yang punya keris tunggu kasur. Apakah
bapak tahu tentang keris tunggu kasur?”
Dia menoleh
sejenak sambil tersenyum tengil, “Wah, yang itu saya tidak tahu mas. Tanya saja
langsung pada pemiliknya”.
Tentu
saja saya tidak puas dengan jawaban teman saya ini. Saya juga tidak tahu apakah
dia benar-benar tidak tahu ataukah sebenarnya tahu tapi tidak mau menjawab.
Bagaimana pun, seperti umumnya keris, keris tunggu kasur tetaplah menjadi
misteri.***
Penulis:
gus Bowie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar