Senin, 27 Juni 2016

Misteri Sirna Ilang Kertaning Bhumi

Sirna Ilang Kertaning Bhumi menjadi pernyataan yang iconic dan dipercaya sebagai tahun berakhirnya Kerajaan Mahapahit yang dikenal sebagai kerajaan yang berhasil menyatukan kepulauan nusantara. Pernyataan di dalam Babad Tanah Jawi yang melambangkan tahun 1400 saka tersebut juga diartikan sebagai “hancur lebur ditelan bumi”.Sebenarnya apakah yang terjadi?

Dalam periode 1468 sampai 1478 Kerajaan Majapahit mempunyai dua raja yang saling berperang. Di istana Wilwatikta di Trowulan Bre Kertabhumi mengangkat dirinya sebagai Raja Majapahit setelah berhasil menggulingkan pamannya, Singhawikramawardhana dari dari tahta dan melarikan diri ke Kediri. Singhawikramawardhana yang berhasil lolos dari penyerangan, mendirikan istana di Daha Kediri dan tetap menyatakan sebagai Raja Majapahit.

Adanya raja kembar di Majapahit ini diawali oleh situasi rumit dalam proses suksesi. Raja Majapahit ke-8 Rajasawardhana yang wafat di tahun 1453, meninggalkan putra mahkota yang masih kecil yaitu Bre Kertabhumi. Setelah tiga tahun tidak memutuskan raja definitif pengganti Rajasawardhana, Dewan Kerajaan Majapahit akhirnya menunjuk Girisawardhana (adik Rajasawardhana) menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya III. Girisawardhana memerintah Majapahit selama 10 tahun dan wafat pada tahun 1466. Sebagai penerusnya, Dewan Kerajaan Majapahit menunjuk Singhawikramawardhana (adik Girisawardhana) menjadi Raja dengan gelar Brawijaya IV. Keputusan ini tidak diterima oleh Bre Kertabhumi yang menganggap seharusnya dia yang menjadi Raja Majapahit, karena statusnya sebagai putra mahkota Rajasawardhana yang wafat ketika dia masih kecil. Bre Kertabhumi memberontak dan berhasil mengalahkan Singhawikramawardhana, dan dia menyatakan diri sebagai Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya V pada tahun 1468.

Perang antara Majapahit Barat yang berpusat di Daha Kediri dengan Majapahit Timur berkedudukan di Trowulan terus berlangsung sampai 10 tahun. Singhawikramawardhana tewas pada tahun 1474 dan digantikan oleh putranya, Girindrawardhana,  sebagai raja Majapahit Barat. Perang terus berlanjut sampai akhirnya Girindrawardhana mengalahkan Majapahit Timur dan Bre Kertabhumi tewas. Peperangan yang berakhir dengan tewasnya Bre Kertabhumi ini diingat dengan candra sengkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi, yang berarti tahun 1400 saka atau 1478 masehi. Babad Tanah Jawi mencatat tahun Sirna Ilang Kertaning Bhumi sebagai tahun keruntuhan Majapahit, yang hilang amblas ditelan bumi.

Benarkah Majapahit sudah tidak ada di tahun 1400 saka atau tahun 1478 masehi? Jawabannya jelas... “tidak”.

Tewasnya Bre Kertabhumi membuat Majapahit kembali bersatu di bawah kekuasaan Girindrawardhana atau Brawijaya VI. Meskipun begitu, Girisawardhana tetap memusatkan kekuasaannya di istana Daha di Kediri, tidak mau membangu istana Trowulan yang dihancurkannya dalam peperangan. Hanya saja, kembali bersatunya Majapahit di bawah Raja Girisawardhana tidak mengakhir perang saudara di Majapahit. Putra Bre Kertabhumi dari selir seorang Putri Campa yang menjadi Bupati Demak, mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Demak dan dilantik sebagai Sultan Fatah. Sultan Fatah segera menyatakan perang kepada Majapahit.

Perang saudara memasuki babak baru antara Brawijaya VI yang beristana di Daha Kediri dengan putra Brawijaya V yang menjadi Sultan di Demak –kerajaan muslim pertama di Pulau Jawa. Di satu sisi Majapahit tinggal menjadi kerajaan di pedalaman Pulau Jawa yang berpusat di Kediri dan di sisi lain Demak telah berkembang menjadi pusat perkembangan komunitas muslim yang mengontrol perairan laut Jawa, dan mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan muslim yang tumbuh pesat di pesisir kepulauan nusantara, bahkan bisa mendapatkan dukungan dari Kesultanan Otoman di Turki.

Perang antara Majapahit dengan Demak berlangsung 20 tahun, sampai Girindrawardhana sang Brawijaya VI tewas pada tahun 1498. Perang sudara berakhir dengan kemenangan Raden Patah yang menjadi Sultan Demak. Raden Patah mengampuni putra Girisawardhana, Patih Udara, dan mengangkatnya menjadi Bupati di bekas pusat pemerintahan Majapahit di Daha Kediri. Mahapahit tidak bisa bangkit lagi karena Sultan Fatah yang berkuasa di Demak juga punya legitimasi sebagai penerus Majapahit karena statusnya sebagai putra Bre Kertabhumi, sang Brawijaya V.

Patih Udara melakukan pemberontakan setelah Raden Patah wafat, tapi Dipati Unus yang menggantikan Raden Pateh berhasil memadamkannya. Patih Udara tewas dalam pemberontakan ini pada tahun 1518. Putra Girindrawardhana yang menjadi penguasa di Daha sebagai bupati ini tercatat sebagai pemimpin Majapahit terakhir. Bisa dikatakan Majapahit masih eksis sampai 40 tahun setelah tahun Sirna Ilang Kertaning Bhumi.  

Penulis: gus Bowie


Berburu Senja di Kaimana

Banyak orang sering mendengar ungkapan “Senja di Kaimana” yang konon begitu indah, tapi yang saya alami sebaliknya –senja tertutup mendung dan justru Kehujanan di Kaimana yang saya dapatkan. Kisah ini terjadi awal Juni 2009. Singkat kisah, berhubung tokoh utama yang diharapkan berhalangan datang, saya pun jadinya on duty untuk hadir dalam acara di Kabupaten Kaimana Papua Barat. Waktunya sangat mepet dan sebenarnya punggung masih pegal-pegal sisa perjalanan darat selama 21 Jam di Aceh karena gagal naik Susi Air –dari Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Meulaboh, menyeberangi hutan ke Pidie, Lhok Seumawe sampai ke Aceh Timur.
Rasanya jalan dari ujung barat ke ujung timur Indonesia terasa begitu jauh. Tapi legenda “Senja di Kaimana” begitu membuat saya penasaran dan cukup kuat memanggil. Saya juga berpikir bahwa apabila dalam kondisi harus melaksanakan sesuatu “Tanyakan manfaat dari apa yang harus kamu kerjakan, dan insyah Allah akan ditunjukkan hikmahnya”. Mantap... berangkat..!
Acara dilaksanakan Selasa siang hari, tapi saya harus meluncur dari Bandung Minggu sore karena penerbangan terdekat adalah pukul 01.30 Senin dini hari. Saya baru paham bahwa penerbangan ke Papua hanya bisa sampai dari pagi sampai sore, makanya harus terbang malam dari Jakarta. Salah satu pertimbangannya adalah karena wilayah Papua da Maluku memiliki pola cuaca yang berbeda dan rawan bagai di malam hari.
Penerbangan sesuai jadwal dan cukup tepat waktu. Jam tangan menununjukkan pukul 05.00 pagi pesawat mendarat di Ambon, ternyata pukul 07.00 dan penumpang harus turun untuk ganti pesawat. Rasanya saya tidak sempat siuman, seperti jalan sambil tidur. “Hmm… pasti masih jam 5 pagi di Jakarta”. Jam 8 pesawat terbang lagi menuju Kaimana, lamat-lamat terdengar informasi bahwa pesawat akan sampai di Kaimana pukul 09.30. Pesawat dua kali masuk badai dan dua kali pula terdengar kegaduhan dan teriakan mama-mama yang ketakutan. Pukul 10.00 pesawat mendarat, bukan di Kaimana tapi di Nabire Propinsi Papua. “Wah ada apa ini?” Kondisi cuaca memaksa pesawat mendarat dulu di Nabire. Singkat cerita pesawat mendarat di Kaimana Jam 13.00 –telat 3 jam lebih dari jadwal semula. Alhasil, saya pun harus membayar rental mobil penjemput dua kali lipat karena mobil harus bolak-balik jam 09.30 dan jam 13.00. Ya wis… “Lain ladang lain belalang, lain kolam lain ikannya” –dan belalang harus ikut dengan kondisi ladang. 

Sorenya saya langsung ke pantai Kaimana, dengan harapan menggebu bisa melihat matahari tenggelam yang puncak keindahannya diabadikan dalam lagu Rahmat Kartolo “Senja di Kaimana” sewaktu operasi pembebasan Irian Barat di awal tahun 1960-an. Ternyata cuaca mendung, gerimis, dan angin laut sangat kencang. Hari pertama saya kehujanan dan gagal menemui indahnya “Senja di Kaimana”.
Hari kedua, selesai pertemuan singkat yang selesai jam 13.00, saya mencoba lagi peruntungan pergi sendirian ke Pantai. Ternyata saya ketemu lagi dengan hujan dan sejauh mata memandang ke arah barat dari Kaimana langit tertutup awan hitam yang militan. Saya pun tidak mau kalah militan dan datang lagi ke pantai Kaimana di hari ketiga. Kali ini saya lebih dulu makan ikan bakar di warung yang penjualnya adalah keluarga asal Lamongan Jawa Timur. Ternyata saya tidak bernasib baik, Kaimana kembali hujan dan mendung menutupi matahari yang akan tenggelam di Laut Arafura.

Dari ngobrol dengan seorang anggota DPRD Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan cerita bahwa ada waktu yang tepat untuk bisa melihat keindahan Senja di Kaimana. Katanya, awal Mei 2009 beberapa menteri datang ke Kaimana ingin melihat senja di sini, tapi tidak kesampaian karena langit berawan. Dia bercerita juga bahwa yang berhasil melihat Senja di Kaimana adalah Wakil Presiden Yusuf Kalla, yang datang pada bulan Desember 2008.
Agak berbeda memang iklim di Papua dengan iklim di Pulau Jawa yang dipengaruhi angin muson barat yang basah dan angin muson timur yang kering. Apa yang terjadi di Papua tidak seperti siklus musim di Pulau Jawa. Cuaca cerah bulan Juni di Pulau Jawa ternyata hujan di Papua, sedangkan bulan Desember yang menjadi masa “gede-gedenya sumber” di Pulau Jawa ternyata menjadi masa yang cerah di Papua.
Keindahan senja di Kaimana memang tidak bisa dinikmati sambil lalu, sambil numpang diongkosi, sekaligus berharap keberuntungan. Perlu direncanakan dengan sengaja, menimbang saat yang tepat, dan menyediakan waktu yang cukup.Niscaya keberuntungan pun akan menjemput. Insya Allah.

Penulis: gus Bowie
 


Prasasti Kudadu dan Kerajaan Majapahit

Di tahun 1290 Kerajaan Singasari berada di puncak kejayaannya. Dipimpin Raja Kertanegara, kerajaan yang berpusat di Kediri Jawa Timur ini menyatukan dua Kerajaan di Jawa Timur dan memimpin kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dalam satu koalisi untuk menaklukkan Kerajaan di Bali dan menguatkan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Setelah mengusir utusan dari Kerajaan Mongol yang meminta Singasari menjadi negara bawahan, Singasari melakukan misi militer dan diplomatik besar-besaran ke wilayah Melayu. Sri Kertanegara percaya diri bahwa upayanya ke sisi barat nusantara ini bisa menghadang kekuatan dari utara, dari Kerajaan Mongol yang mungkin menuntut balas.

Sayangnya mobilisasi kekuatan militer besar-besaran ini menciptakan kelemahan militer di pusat kerajaan. Jayakatwang dari Gelang Gelang yang belum lama mendapatkan pengampunan dari Raja Kertanegara melakukan serangan cepat langsung ke istana kerajaan berhasil melumpuhkan kekuatan militer yang tersisa, berhasil membunuh Raja Kertanegara dan para pembesar kerajaan yang tinggal di pusat kerajaan. Salah satu keponakan Raja Kertangera, Sangrama Wijaya, berhasil melarikan diri dan selamat sampai Pulau Madura dan mendapatkan perlindungan dari penguasa Sumenep, Aria Wiraraja. Keberhasilan ini berkat pertolongan pimpinan dan warga Desa Kudadu. Setelah beberapa hari diburu pasukan Jayakatwang, rombongan ia lolos dari buruan karena disembunyikan, diberi pasokan makanan, dan dikawal sampai mendapatkan jalan aman sampai ke Sumenep.

Penguasa Sumenep, Aria Wiraraja, memberikan perlindungan kepada Sangrama Wijaya, memintakan ampun kepada Jayakatwang, hingga mendapatkan ijin membuka hutan Tarik di Trowulan, dimana ia bisa mengkonsolidasi kekuatan sisa-sisa Singasari. Dengan “memanfaatkan” Pasukan Mongol yang hendak menuntuk balas kepada Sri Kertanegara, ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, dan setelah mengusir pasukan Mongol dengan tipu muslihan dan gerilya, ia mendirikan Kerajaan Majapahit di Trowulan. Ia ditahbiskan menjadi Raja Majapahit dengan gelar “Kertarajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa“. Sejarah mengenalnya sebagai Raden Wijaya.

Atas jasa-jasa pemimpin Desa Kudadu, Raden Wijaya memberikan penghargaan (anugrah) kepada pejabat dan masyarakat Desa Kudadu, dengan menetapkan  Desa Kudadu sebagai sīma atau tanah perdikan untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Dengan menjadi Sima, pejabat desa berhak mengambil manfaat dari tanah yang dikuasainya tanpa dipungut pajak oleh kerajaan, baik untuk pertanian, memanen buah dan kayunya dan lain-lain. Penetapan Desa Kudadu sebagai Sima ini dilakukan pada 11 September 1294 melalui Prasasti Kudadu, yang dipahat dalam beberapa lempeng tembaga dengan tulisan aksara Kawi Majapahit.

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur yang terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Butak ini, selain menetapkan Desa Kudadu sebagai Sima, juga menuliskan kisah heroik pimpinan Desa Kudadu yang memberikan persembunyian, makan-minum, sampai ke Ramban, tempat di mana Raden Wijaya dan rombongannya, termasuk Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora dan lain-lain melanjutkan pelarian sampai ke Sumenep dengan selamat.

Prasasti Kudadu menjadi bukti tentang proses transisi dari Kerajaan Singasari sampai terbentuknya Kerajaan Majapahit, situasi konflik dan gambaran relasi kehidupan masyarakat desa dengan pembesar kerajaan. Prasast ini juga memberikan konfirmasi tentang kebenaran kisah tentang Kerajaan Majapahit yang ditulis oleh Prapanca dalam Negara Kertagama pada lembar-lembar daun lontar. Pemimpin dan warga Desa Kudadu memberikan perlindungan kepada Raden Wijaya dan mereka memanen anugrah yang layak.

Penulis gus Bowie


Ekspansi Mongol dan Hari Jadi Kota Surabaya

Di abad 13, Bangsa Mongolia berubah cepat menjadi kekuatan militer yang kuat, ekspansif dan mendunia. Negeri China yang dilindungi tembok besar sepanjang  21.196,18 bisa ditaklukkan. Di tahun 1214, Dinasti Jin yang berkuasa di Beijing menyerah dan bersedia menjadi koloni Mongol di bawah kepemimpinan Jenghis Khan.  Kaisar Jin menyerahkan seorang puteri untuk diperistri Jenghis Khan, 500 bocah laki-laki dan perempuan, 3000 kuda, dan 10.000 gulungan sutra. Setelah menaklukkan China di arah Timur, Jenghis Khan melanjutkan ekspansi ke negara-negara di sisi Barat. Tahun 1219 M, Jenghis Khan membawa 200.000 pasukannya bergerak ke Khawarezm di sebelah Barat melalui Transoxiana.  Ia berhasil menduduki kota-kota yang makmur seperti Bukhara dan Samar Khand dan membunuh semua penduduknya sebagai pembalasan dendam. Kemudian mereka berangkat ke kota-kota lainnya hingga korban tewas mencapai jutaan jiwa. Pembantaian ini dilakukan karena penguasa Kerajaan Khawarism Syah Muhammad menolak takluk, bahkan membunuh utusan Jenghis Khan yang dianggap sebagai mata-mata.  

Setelah Jenghis Khan meninggal dunia di tahun 1227, kekuasaan Monggolia dikendalikan oleh anak cucunya. Di pusat Monggolia ada Kaisar Munk Khan, di Timur mulai dari China ada Kubilai Khan yang paling terkenal dan mendirikan Dinasti Yuan di Daratan Cina. Di Barat ada Hulagu Khan yang melebarkan kekuasaan sampai Eropa dan Timur Tengah. Dari Khawarism, Pasukan Hulagu Khan terus memperluas ekspansi sampai ke Eropa, kemudian bergerak ke Timur Tengah. Pada 12 Muharam 656 H Hulagu Khan mulai mengepung pusat kekuasaan Khalifah Mu’tashim di Bagdad.

Di masa pengepungan, Hulagu Khan memberikan tawaran yang terdiri dari beberapa poin, antara lain: (1) Menghentikan peperangan dan diganti dengan hubungan bilateral yang saling menguntungkan, (2) Mu’tashim Billah tetap menjadi khalifah dan Penduduk Baghdad tanpa terkecuali dijamin keamanannya, (3) Hendaknya Baghdad menghancurkan benteng Irak, menimbun kembali parit-parit, dan menyerahkan persenjataan, (4) Baghdad menjadi koloni kerajaan Mongol. Singkat cerita, di tahun 1258 Dinasti Abbasyah pun runtuh setelah 500 tahun lebih berkuasa, dan Mu’tashim menjadi Khalifah terakhirnya. Kota Bagdad dihancurkan, perpustakaan dimusnahkan dan ratusan ribu penduduk dibunuh.

Di sisi Timur, Kubilai Khan terus melakukan penaklukan sampai menguasai seluruh Daratan Cina dan mendirikan Dinasti Yuan. Ekspansi besar-besaran juga dilakukan ke Asia Tenggara bahkan sampai ke Kerajaan Singasari di Tanah Jawa. Ambisi Kubilai Khan ini harus berhadapan dengan ambisi Raja Kertanegara yang ingin membangun kekuatan armada laut untuk mendominasi jalur perdagangan laut dalam wi wilayah nusantara. Kertanegara sedang membangun diplomasi dengan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Kerajaan Melayu di Jambi. Utusan Tentara Mongol yang datang ke Singasari pada tahun 1289, diperlakukan dengan kasar oleh Kertanegara. Apa yang dilakukan oleh Kertanegara ini serupa dengan yang dilakukan Penguasa Khawarism Syah Muhammad –yang kemudian Pasukan Mongol membantai seluruh penduduknya sebagai balasan.

Di tengah kesibukannya membangun kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Sumatera dalam Ekspedisi Pamalayu, Kerajaan Singasari mendapatkan serangan tidak terduga dari Jayakatwang yang menjadi Bupati Gelang-Gelang. Jayakatwang yang merupakan keturunan, Raja Kediri yang dikalahkan oleh Ken Arok, Kertajaya, mengambil kesempatan ketika Singasari mejadi lemah karena ditinggalkan pasukan terbaik yang melakukan ekspedisi ke Sumatera. Dalam serangan tak terduga oleh saudara iparnya ini, Kertanegara gugur, dan Jayakatwang menegakkan kembali Kerajaan Kediri.

Belum lama Jayakatwang berkuasa di Kediri, Pasukan Khubilai Khan mendarat di Pulau Jawa untuk menuntut balas pada Kertanegara. Tentara Tar Tar di bawah pimpinan ... ini gagal menemukan Istana Kerajaan Singasari yang telah dihancurkan oleh Jayakatwang. Raden Wijaya dan pengikutnya yang membuka permukiman di hutan Tarik melihat pergerakan Pasukan Mongol di perairan Kali Brantas datang menawarkan bantuan untuk menemukan dan memerangi Raja Jawa. Pasukan Mongol dan Pasukan Raden Wijaya berhasil menemukan Istana Jayakatwang di Gelang-Gelang, menggempurnya sampai hancur dan Jayakatwang pun gugur.

Ketika sedang berpesta merayakan kemenangan di permukiman yang dibangun di Hutan Tarik, pasukan pengikut Raden Wijaya melakukan penyerangan terhadap pimpinan Pasukan Mongol yang mabuk kemenangan. Penyerangan terhadap Pasukan Mongol terus dilakukan melalui pembakaran kapal yang bersandar di Kali Brantas dan melalui taktik gerilya dari huta-hutan yang ada di sekeliling Kali Brantas. Setelah kehilangan banyak kapal dan banyak yang terbunuh, Pasukan Mongol akhirnya pergi meninggalkan Pulau Jawa pada 31 Mei 1293. Tidak seperti ekspansi Mongol ke Timur Tengah yang berhasil gemilang, ekspansi ke Asia Tenggara di Kepulauan Nusantara gagal total.  

Terusirnya Pasukan Mongol yang pergi melalui muara Sungai Mas di Surabaya ini diperingati sebagai hari kelahiran Kota Surabaya. Kedatangan Pasukan Mongol yang masuk Kali Brantas melalui Kali Mas ini disimbulkan dengan pertarungan Ikan Hiu dengan Buaya. Ikan Hiu atau “Sura”merupakan simbol yang merepresentasikan Pasukan Monggol yang datang dari laut sedangkan buaya atau “Baya” merupakan simbol pasukan pribumi pengikut Raden Wijaya. Hari jadi Kota Surabaya bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit yang dideklarasikan oleh Raden Wijaya sebagai kelanjutan dari Kerajaan Singasari.

Penulis: gus Bowie


Parodi Jaman Batu

Dalam babak sejarah manusia dikenal masa yang disebut sebagai Jaman Batu, yaitu suatu masa di mana manusia mempunyai teknologi tercanggih untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan teknologi yang terbuat dari batu. Peralatan yang terbuat dari batu digunakan untuk mata tombang untuk berburu, pisau untuk memotong daging, kampak unuk menebang pohon, pipisan untuk menggiling atau menumbuk biji-bijian, dan lain-lain. Selain teknologi batu, manusia juga membuat peralatan dari kayu, tulang dan tanduk binatang dan lainnya.

Masa ini ngetop disebut sebagai Jaman Batu, setidaknya karena dua hal: pertama, karena batu paling sulit dibentuk daripada kayu dan tulang atau tanduk dan kedua, batu lebih tahan lapuk. Jaman batu dibagi lagi dalam 3 masa, yaitu: palaeolitikum (batunya masih kasar), mesolitikum (peralatan baru makin beragam dan lebih kecil dan rumit) dan neolitikum (peralatan batu dihaluskan dan ada perhiasan yang terbuat dari batu mulia). Di Jaman Batu manusia hidup dengan cara berburu dan meramu, nomaden, dan belum mengenal tulisan sehingga dikenal sebagai masa pra-sejarah. Ahli sejarah sulit mengungkap kehidupan Jaman Batu karena tidak ada tulisan yang bisa dibaca.

Masa peradaban manusia berikutnya adalah Jaman Logam yang terbagi dalam Jaman Perunggu dan Jaman Besi. Peralatan dari perunggu dibuat dengan melebur tembaga dicampur timah yang menghasilkan logam lebih kuat. Peralatan dari besi dibuat dengan melebur pasir besi kemudian dicetak menjadi kampak, pisau, mata tombak, golok, pedang, peralatan memasak, dan lain-lain. Pada masa logam, manusia sudah mampu mengendalikan api dan bisa menggunakannya untuk memanaskan logam sampai titik lebur yang mencapai suhu hingga 3.500 derajat celcius. Di Jaman Logam ini manusia mulai membentuk peradaban yang canggih, ada tatanan sosial, mulai tumbuh kerajaan dan mulai ada prasasti tertulis yang mudah dipelajari oleh sejarawan.

Kini manusia sudah melampaui Jaman Modern, masuk ke Era Informasi  dan mampu membuat peralatan untuk bertahan dan mengembangkan hidup dari batu, dari logam, campuran batu dan logam, bahkan teknologi silikon dan optik. Manusia mampu membangun gedung tertinggi untuk tinggal, mampu bergerak cepat, dan berkomunikasi menembus batas ruang dan waktu. Ditambah dengan teknologi komunikasi virtual berbasis internet, kesenjangan antara Jaman Batu dengan Jaman Kini sangat jauh, seperti malam yang gelap dengan siang yang benderang. Karenanya banyak yang terkejut begitu masyarakat di Indonesia banyak yang tiba-tiba gandrung pada batu.  

Di akhir 2014 hingga kini di pertengahan tahun 2015, kegandrungan pada batu akik atau batu mulia melanda masyarakat Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua. Daerah yang sudah lama menjadi pusat kerajinan dan pasar batu mulia dan batu permata makin meningkatkan omsetnya, dan daerah lain muncul dengan batu khas masing-masing, dan masyarakat mendorongnya menjadi ciri khas dan andalan daerah. Di Aceh ada Solar Aceh, di Bengkulu ada Red Raflesia, di Banten ada Black Opal atau Kalimaya dan lain-lain. Di Beberapa daerah, pemerintah daerah bahkan memberikan dorongan lebih dengan membuat kebijakan diskresi dengan mewajibkan PNS untuk memakai perhiasan dari batu lokal. Di Purbalingga ada anjuran bagi PNS untuk memakai cincin dengan Batu Klawing yang diambil dari Kali Klawing dan lain-lain.

Batu Akik benar-benar menjadi fenomena dan disambut oleh masyarakat dengan gempita. Pasar batu banyak tumbuh di perkotaan, baik di trotoar, di pertokoan, maupun di pusat perbelanjaan. Beberapa pemerintah daerah memberikan dukungan dengan menyelenggarakan pameran dan perlombaan. Hal ini mempengaruhi rantai produksi, setidaknya menjadi peluang bagi produsen loga untuk memproduksi logam pengikat akik yang menggejala.

Penulis: gus Bowie


Misteri Keris Tunggu Kasur

Awal Muharram, saya numpang mobil seorang teman senior dalam perjalan dari Jalan Raden Patah di belakang Mabes Polri menuju ke Jalan Saharjo dekat Tugu Pancoran. Teman saya, sebut saja inisialnya RM HS ini adalah seorang PNS yang bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat dan Departemen Pekerjaan Umum. Di luar profesinya sebagai PNS, pria kelahiran Madiun Jawa Timur ini adalah guru silat dari perguruan silat terkenal, yang banyak pengikutnya di beberapa daerah di sekitar Gunung Lawu.
Sebagai orang Jawa yang memegang teguh nilai dan budaya Jawa, teman senior saya ini mempunyai keahlian khusus orang Jawa, yaitu merawat dan membersihkan keris. Dia menyimpan banyak keris, dan di rumahnya banyak keris dipajang di ruang tamu dan ruang-ruang lain, bahkan ada lemari khusus untuk menyimpan keris. Menurutnya, keris-keris tersebut bukan miliknya semua, malah lebih banyak yang merupakan titipan dari pemilik atau pewarisnya. Setidaknya ada dua alasan orang menitipkan keris, pertama titip untuk dijual apabila ada yang cocok dan berminat dan kedua, pewaris yang menitipkan keris karena tidak tahu harus diapakan. Kelompok kedua ini menitipkan keris ada yang karena merasa sudah tidak jamannya, malas merawat, perasa tidak nyaman, atau menganggap keris sebagai benda klenik yang harus dijauhi. Semua keris yang dititipkan ke dia diberikan tanda tulisan tentang pemilik dan pewarisnya, agar mudah jika sewaktu-waktu mau diambil kembali.
Di tahun baru menurut Kalender Jawa atau tahun baru Hijriyah, yaitu di bulan Muharam atau bulan Suro, keris yang ada di rumahnya makin banyak, karena ada orang minta tolong dicucikan keris. Mereka ini merupakan kalangan masyarakat yang mau menyimpan keris tapi tidak sempat atau tidak tahu cara merawat keris sebagaimana layaknya keris diperlakukan agar tidak rusak, tampilannya tetap bagus. “..plus tuah dan auranya baik,” katanya.
Di tengah kemacetan jalan Gatot Subroto, saya pun bertanya untuk menjaga situasi tetap santai, “Pak, sebenarnya keris itu apa sih? Katanya ada keris sakti..”
Sejenak diam berpikir, dia memberi jawaban sambil terus mengemudi.
“Pertama, kalo kita lihat benda yang tampak berbentuk keris, sebenarnya belum tentu keris, Mas. Bisa jadi itu keris-kerisan bisa juga memang keris keneran,” dia menjawab dengan yakin, tapi saya tidak ngerti apa maksudnya keris-kerisan.
“Maksudnya Pak?” tanyaku.
“Keris-kerisan itu,” lanjutnya “...hanya logam biasa yang dibentuk seperti keris, runcing, meliuk-liuk, tapi tidak ada pamornya, logamnya tidak ditempa berlapis-lapis dan berlipat-lipat. Malah ada yang berupa lempengan seng yang digunting berbentuk keris”.
Selanjutnya dia menjelaskan dengan panjang-lebar:
“Sederhananya, keris bisa dilihat dari logam bahannya. Ada paduan logam utama dan logam pamornya. Pamornya bisa berupa nikel, logam yang berasal dari meteor, maupun titanium. Logam disusun berlapis, ditempa, dilipat, ditempa lagi sampai ratusan kali sampai membetuk garis corak hasil perpaduan warna logam.”
Dia menjelaskan dengan mantap sambil nyetir, terkesan bercanda tapi tidak Nampak tersenyum.
“Nah, keris yang benar-benar keris ini juga ada dua jenis,” lanjutnya tiba-tiba dan tentu saja membuat saya penasaran.
Pertama, keris untuk gaya, yang fungsinya sebagai simbul reputasi, menunjukkan kelas sosial pemiliknya. Ya.. kalo sekarang ibarat sedan mercy-lah, simbolkan kelas sosial atas, yang bonafit, kredibel. Keris model begini logamnya bagus, pamornya berkelas, kadang dilapisi emas, ditatahkan batu permata jamrud, safir bahkan berlian. Pada masa Kerajaan dulu keris diberikan corak khusus yang menandakan lisensi kerajaan. Pemiliknya bisa dianggap kaya, punya kuasa, atau dipercaya orang yang sedang berkuasa. Jadi pemiliknya mempunyai reputasi atau ‘awu’ yang kuat.” 
Dia berhentik sejenak, lalu saya bertanya lagi “Kalau keris yang konon punya kesaktian bagaimana pak?”
“Soal keris yang dianggap sakti, beda lagi ceritanya,” katanya. “Dalam proses pembuatannya, si pembuat memasukkan energi ke dalam keris pada saat penempaan dan pelipatan logam.”
Aku sedikit penasaran tapi tidak tanya, “Energi apa yang dimasukkan dan bagaimana memasukkanya”.
“Energi yang dimasukkan tergantung kepada yang memesan keris, apa posisinya dan berapa biayanya.” Dia melanjutkan seolah tahu pertanyaan saya. Kali ini dia sambil senyum.
“Kalo seorang kopral dengan anggaran terbatas, energi yang dimasukkan adalah aura berani tempur, lincah, kuat dan mungkin juga kebal, karena memang itu yang dibutuhkan oleh orang di dalam pertempuran.  Jika yang memesan adalah Kapolres, beda lagi energinya. Apalagi keris yang dipesan oleh seorang jenderal yang posisinya tinggi dan punya anggaran ‘cukup’. Energi yang diinstal adalah auranya berpikir strategis, ngobrolnya cerdas, terpercaya, berwibawa, kawan terkesima dan anak buah patuh dengan instruksinya.”
Tapi di sini ada bahayanya mas,” katanya membuat saya kembali menyimak. “...yang bahaya adalah Jenderal yang punya keris seorang prajurit tempur. Pangkatnya jenderal, posisi panglima, tapi auranya pingin tempur terus, mikirnya tidak strategis, dan kalo anak buah menghadapi kesulitan dia malah ingin maju tempur sendiri. Mungkin energi yang dimasukkan adalah energy buaya, jadi auranya buaya.. he he.”
Saya ikut tertawa, jadi ingat “Truno 3” kawannya Anggodo, jangan-jangan salah nyimpan keris milik seorang brigadir yang beraura buaya.
Lucu juga penjelasan kawan RM HS ini. Saya jadi ingat seorang teman, teman asal Solo, yang ngaku punya keris “tunggu kasur”. Teman saya yang dikenal teman-teman sebagai bangsawan dam tinggal di dalam benteng ini pernah memberi tahu bahwa keris ini berfungsi menemani pemiliknya dalam melakukan aktivitas di atas kasur.
Kali ini saya iseng bertanya “Ada teman saya orang Solo yang punya keris tunggu kasur. Apakah bapak tahu tentang keris tunggu kasur?”
Dia menoleh sejenak sambil tersenyum tengil, “Wah, yang itu saya tidak tahu mas. Tanya saja langsung pada pemiliknya”.
Tentu saja saya tidak puas dengan jawaban teman saya ini. Saya juga tidak tahu apakah dia benar-benar tidak tahu ataukah sebenarnya tahu tapi tidak mau menjawab. Bagaimana pun, seperti umumnya keris, keris tunggu kasur tetaplah menjadi misteri.***

Penulis: gus Bowie


Pelajaran Politik dari Keluarga Aria Wiraraja

Sudah banyak yang tahu bahwa Aria Wiraraja sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Majapahit. Alkisah, setelah runtuhnya Kerajaan Singasari oleh serangan Jayakatwang Bupati Gelang-Gelang yang berkedudukan di wilayah Madiun kini, Aria Wiraraja memberikan perlindungan kepada seorang pangeran Kerajaan Singasari, Sangramawijaya, agar mendapatkan kepercayaan dari Jayakatwang. Sangramawijaya dipercaya untuk membuka lahan di Hutan Tarik sebagai lahan perburuan, cocok dengan hobi Jayakatwang.

Bukan hanya bantuan lobi ke Jayakatwang, Aria Wiraraja juga menggalang pasukan di bawah komando tiga putranya, yaitu Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi. Para putra Aria Wiraraja ini kemudian berperan besar peperangan tiga pihak, yaitu antara Jayakatwang yang membangkitkan kembali Kerajaan Kediri, laskar sisa-sia Kerajaan Singasari dan Pasukan Mongol yang datang untuk menuntut balas atas perlakukan kasar raja Singasari, Kertanegara pada tahun 1289. Dalam peperangan tiga pihak ini, Sangramawijaya yang dibantu tiga putra Aria Wiraraja berhasil mendapatkan kerjasama pasukan Monggol untuk menghancurkan Jayakatwang. Sangramawijaya kemudian berhasil mengusir Pasukan Mongol dengan tipu daya dan gerilya. Pada tahun 1293, Sangramawijaya yang kemudian dikenal sebagai Raden Wijaya berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit.

Dari sekilas kisah pendirian Kerajaan Majapahit tersebut, sangat tampak jasa Keluarga Aria Wiraraja. Dalam politik ada adegium “tidak ada makan siang gratis”. Lantas apa yang membuat Aria Wiraraja mau melakukan hal tersebut dan apa yang kemudian didapatkannya? Fakta sejarah menunjukkan bahwa Aria Wiraraja mendapatkan banyak hal, yang bisa dilihat dari jabatan yang diperoleh putra-putranya. Ranggalawe menjadi Adipati Tuban sekaligus sebagai Pesangguhan di Majapahit, Lembu Sora menjadi Patih Kediri dan Pesangguhan di Majapahit dan Nambi menjadi Mahapatih Majapahit –kedudukan tertinggi setelah raja. Apa yang didapat Aria Wiraraja sendiri? Keberhasilannya membantu Raden Wijaya membangun kembali kerajaan penerus Wangsa Rajasa membuatnya mendapatkan hak setengah dari wilayah dari wilayah bekas Kerajaan Singasari di sisi Timur Pulau Jawa, yaitu mulai dari Lumajang sampai ujung timur di Blambangan. Aria Wiraraja menjadi penguasa otonom Kerajaan Timur Majapahit, sekaligus menjadi Pesangguhan di Majaphit dengan gelar Pranaraja.

Siapa Aria Wiraraja?
Setengah wilayah Majapahit dan putra-putra menempati posisi strategis di Kerajaan Majapahit jelas sebuah pencapaian politik sangat besar bagi Keluarga Aria Wiraraja. Apalagi mengingat tidak lama sebelumnya dia dimutasi oleh Aria Wiraraja dari istana Singasari ke wilayah jauh di ujung timur Pulau Madura, Songenep yang menjadi Kabupaten Sumenep kini.

Sebelum menjadi Adipati di Sumenep, Aria Wiraraja adalah pejabat kepercayaan Wisnuwardhana,  Raja Singasari ke 4, yang bernama Banyak Wide. Karena kemampuannya, Banyak Wide dipercaya Wisnuwardhana sebagai Juru Ramal dan Penasihat Raja yang berkedudukan di stana Singasari di Kediri. Setelah Wisnuwardhana wafat dan digantikan oleh Kertanegara, peruntungan Banyak Wide berubah. Pandangan politik Kertanegara yang berorientasi maritim dan memandang nusantara sebagai kesatuan kurang cocok dengan pandangan Banyak Wide. Bersama pejabat senior Wisnuwardhana, Banyak Wide dimutasi dari istana Singasari menjadi Adipati di Songenep –wilayah yang sangat terpencil di ujung timur Pulau Madura.

Parlakuan Kertanegara terhadap Aria Wiraraja dan pejabat senior Singasari lainnya, rupanya memunculkan barisan sakit hati. Menurut Kitab Pararaton, Aria Wiraraja berperan besar terhadap runtuhnya Kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari ditinggalkan kekuatan besar melakukan ekspedisi Pamalayu untuk membangun koalisi dengan Kerajaan Melayu di Jambi, Aria Wiraraja menjain hubungan dengan bupati Gelang-Gelang, Jayakatwang, untuk menuntut balas atas penghancuran nenek moyangnya Kertajaya oleh Ken Arok –yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari dengan gelas Rajasa sang Amurwabhuni. Analisa Aria Wiraraja sangat tepat, dan Kerajaan Singasari tidak berdaya menghadapi serangan Jayakatwang dan Kertanegara pun tewas dalam serangan tersebut.

Masa Kejayaan Keluarga Aria Wiraraja
Pada saat mencapai puncak kekuasaan, ujian langsung dihadapi oleh Keluarga Aria Wiraraja. Ujian pertama dari putranya Ranggalawe yang ditunjuk oleh Raden Wijaya sebagai Adipati Tuban sekaligus sebagai Pesangguhan di Istana Majapahit. Ranggalawe dinilai oleh banyak pihak menjadi panglima perang paling berjasa dalam perang melawan Jayakatwang dan pengusiran Pasukan Mongol. Penunjukkan kakaknya Lembu Nambi sebagai Mahapatih Majapahit membuat Ranggalawe dan pengikutnya kecewa dan membuatnya sering melakukan pembangkangan. Majapahit akhirnya mengirim pasukan untuk menumpas Ranggalawe yang dipimpin oleh salah satu pimpinan Ekspansi Pamalayu, Kebo Anabrang. Pasukan Kebo Anabrang berhasil mengalahkan mengalahkan pasukan Ranggalawe dan menyisakan persoalan bagi kakaknya Lembu Sora. Kebo Anabrang berhasil mengalahkan Ranggalawe dalam pertempuran di Sungai Tambakberas, tapi Kebo Anabrang ditikam dari belakang oleh Lembu Sora yang tidak tega melihat adiknya dibunuh oleh Lembu Sora.

Ujian kedua dialami oleh Lembu Sora. Setelah enam tahun didiamkan, pembunuhan Kebo Anabrang oleh Lembu Sora dari belakang mulai diungkit setelah anak Kebo Anabrang mulai dewasa. Kebo Taruna mulai menunut keadilan kepada Raden Wijaya terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Lembu Sora yang menjadi Patih Kediri dan sekaligus Pesangguhan di Istana Majapahit. Tuntutan Kebo Taruna ini mendapatkan dukungan dari pejabat lain di Majapahit, dan akhirnya Raden Wijaya memanggi Lembu Sora untuk menghadap di Istana Majapahit. Lembu Sora akhirnya datang ke Istana untuk mkenghadap Raden Wijaya dengan membawa pasukan cukup lengkap. Sesampai di istana, pasukan istana tidak menerima kadatangan Lembu Sora yang membawa pasukan dan kondisi segera menjadi rumit dan terjadi pertempuran. Lembu Sora dan Pasukannya berhasi ditumpas dan peristwa ini dikenal sebagai Pemberontakan Lembu Sora.

Ujian ketiga dialami oleh Lembu Nambi, anak putra tertua yang menjadi mahapatih di Majapahit, yang dimulai setelah Raden Wijaya wafat dan digantikan oleh putranya Jayanegara. Setelah mendapatkan kabar bahwa ayahnya Aria Wiraraja yang bergelar Pranaraja sakit, Lembu Nambi meminta ijin raja untuk menjenguknya  ke Lumajang. Sesampai di Lumajang, Lembu Nambi mendapati ayahnya sudah wafat. Hal ini membuat Lembu Nambi menunda kembalinya ke Istana Majapahit, bahkan Raja Jayanegara menyampaikan duka cita ke Nambi melalui rombongan utusan yang dikirimnya. Lembu Nambi bahkan kemudian memperpanjang tinggal di Lumajang tanpa pemberitahuan resmi.

Lamanya Lembu Nambi tidak kembali ke Majapahit tanpa pemberitahuan ini kemudian menjadi masalah. Hal ini segera menjadi gawat setelah berhembus kabar bahwa Lembu Nambi kemungkin ingin meneruskan berkuasa di Istana Lumajang dan melepaskan diri dari Majapahit. Tersebar kabar bahwa pasukan Istana Lumajang semakin banyak dan benteng pun semakin kokoh. Raja Jayanegara akhirnya memutuskan untuk menumpas Istana Lumajang yang dinilai sebagai basis pemberontakan Lembu Nambi. Pasukan Majapahit yang dipimpin Mahapatih berhasil menumpas istana Lumajang yang dianggap sebagai basis pemberontakan Lembu Nambi. Peristiwa ini dikenal sebagai pemberintakan Nambi dan sejak peristiwa ini, otonomi Majapahit Timur dihapuskan.

Bagaimana Kejatuhan Keluarga Aria Wiraraja?
Keluarga Aria Wiraraja isa dikatakan mengalami kejatuhan justru setelah mencapai puncak kejayaanya. Dari kisah habisnya keluarga Aria Wiraraja ini muncul tokoh antagonis yang sukses yaitu Mahapatih. Menurut Kitab Pararatom dan Kidung Sorandaka, Pemberontakan Lembu Sora dan Pemberontakan Lembu Nambi adalah disain yang dibuat oleh Mahapatih. Dialah yang memberitahu Kebo Taruna tentang pembunuhan Kebo Anabrang oleh Lembu Sora dan mengompori agar Kebo Taruna menuntut Lembu Sora. Atas rekayasa Mahapati pula pasukan jaga istana Majapahit menolak Lembu Sora menghadap Raden Wijaya sampai terjadi pertempuran di depan istana yang menewaskan Lembu Sora dan pasukannya. Dalam peristiwa ini, argumentasi Mahapatih yang menang sehingga Raden Wijaya memutuskan sebagai pemberontakan, sehingga mengharuskan Mahapatih Lembu Nambi untuk menumpas Lembu Sora. 

Menurut Kidung Sorandaka, Mahapati juga yang merekayasa Pemberontakan Lembu Nambi dari Lumajang. Setelah Raden Wijaya Wafat, dia mendapatkan tempat sangat dekat dengan Raja Jayanegara. Kepada Lembu Nambi, dia mengatakan bahwa Raja tidak suka dengan Lembu Nambi dan curiga dengan pembangunan Benteng Lumajang dan mengusulkan Lembu Nambi untuk bicara dengan ayahnya. Dia juga yang mengusulkan agar Lembu Nambi memperpanjang cutinya di Lumajang yang akhirnya disetujui oleh Lembu Nambi, tapi Mahapati kemudian malah memutarbalikkan cerita bahwa Lembu Nambi tidak segera kembali ke Majapahit karena ingin memberontak.

Setelah tewasnya Lembu Nambi, Mahapatih memang mendapatkan posisi penting sebagai Mahapatih Majapahit menggantikan Lembu Sora. Dalam prasasti Tuhanyaru (1323) disebutkan Mahapati menjadi Mahapatih di Majapahit dengan gelar Dyah Halayudha.

Singkat kisah keluarga Aria Wiraraja di atas mengajarkan bahwa dalam politik, sebuah kelompok atau klan bisa membangun dan meraup kekuasaan secara luas di puncak, dan puncak yang tinggi mendapatkan hembusan semakin kuat. Dari kisah keluarga Aria Wiraraja juga ada pembelajaran penting bahwa berbagi kekuasaan sangat penting. Kegagalan berbagi kekuasaan terbukti mendatang pihak yang justru muncul untuk merebut, seperti yang dilakukan dengan sabar oleh Mahapatih sang Dyah Halayudha.

Penulis gus Bowie


Sembilan Pemberontakan di Masa Majapahit

Kerajaan Majapahit dikenal sebagai kerajaan maritim besar di Indonesia, dan memiiki rentang kekuasaan sampai seluruh pulau di wilayah nusantara. Dari ujung barat sampai ke Aceh, semenanjung Malaka, bersekutu dengan kerajaan-kerajaan di Thailand, Vietnam dan Kamboja. Di Utara pengaruh kekuasaan Majapahit sampai ke Kepulauan Zulu di Selatan Philipina dan di ujung Timur sampai ke Papua. Di balik kebesaran Majapahit sebenarnya banyak terjadi pemberontakan, baik di masa awal pendirian di tahun 1293 maupun pasca kekuasaan Hayamwuruk hingga runtuhnya pemerintahan terakhir yang berpusat di Daha Kediri oleh pemberontakan Demak pada tahun 1512.

Pembenrontakan Ranggalawe 1295
Pemberontakan Ranggalawe terjadi tidak lama setelah pembentukan pemerintahan pertama Kerajaan Majapahit. Pemberotakan ini dipicu oleh rasa kecewa Ranggalawe karena Raden Wijaya, justru mengangkat Mpu Nambi sebagai Mahapatih. Senopati Ranggalawe yang dinilai paling berjasa dalam membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang dan kemudian mengusir Pasukan Mongol hanya ditunjuk menjadi Adipati di Tuban. Kemarahan Ranggalawe sempat bisa diatasi oleh kakaknya Lembu Sorayang meminta Ranggalawe untuk pulang ke Tuban untuk berunding dengan ayahnya –Aria Wiraraja.
Begitu Ranggalawe berangkat pulang ke Tuban, tidak lama kemudia Pasukan Majapahit yang dipimpin Kebo Anabrang menyusul ke Tuban. Perang antara Pasukan Mahisa Anabrang dan Pasukan Ranggalawe terjadi di Sungai Tambak Beras. Ranggalawe yang menjadi Senopati dalam perang melawan Jayakatwang dan pengusiran Tentara Mongol dikalahkan oleh Mahisa Anabrang yang menjadi Senopati dalam rombongan ekspedisi Singasari ke Kerajaan Melayu. Tapi Mahisa Anabrang kemudian tewas karena dibunuh oleh Lembu Sora.

Pemberontakan Lembu Sora (1301)
Peristiwa pemberontakan Lembu Sora ini muncul setelah rahasia pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora mulai muncul ke permukaan, mulai diketahui oleh para pejabat istana. Anak Mahisa Anabrang yang bernama Mahisa Taruna mulai menyatakan gugatan, dan mulai memunculkan pertanyaan terhadap sikap Raden Wijaya yang tidak berani bersikap tegas terhadap Lembu Sora yang telah melakukan pelanggaran etika berat. Menurut Kitab perundang-undangan jaman Majapahit, Kutaramana-wadharmasastra, kesalahannya bisa dikenakan hukuman mati.

Mengetahui kondisi makin panas, Raden Wijaya akhirnya memanggil Lembu Sora. Lembu Sora yang makin terpojok akhirnya memutuskan untuk datang menghadap Raden Wijaya, ditemani beberapa pengikutnya. Tapi kedatangan Lembu Sora ke istana Majapahit dalam rombongan besar ini dicurigai sebagai pemberontakan. Sesampai di gerbang istana, Lembu Sora disambut pasukan pengawal istana yang menyatakan bahwa Raja tidak mau menerima Lembu Sora. Perselisihan di depan istana dengan cepat berkembang menjadi pertempuran dan rombongan Lembu Sora ditumpas oleh pasukan istana.

Kitab Pararaton mulai menyebut peran Mahapatih yang berperan penting dalam peristiwa Lembu Sora. Dikisahkan bahwa dialah yang mulai membuka rahasia dan menyebarluaskan pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora secara curang dari belakang setelah Mahisa Anabrang membunuh Ranggalawe yang tidak lain adalah adik Lembu Sora. Mahapati pula yang memberitahu Mahisa Taruna sehingga melakukan gugatan, dan dia pula yang memberikan informasi kepada Raden Wijaya bahwa Lembu Sora berniat memberontak, sehingga diputuskan untuk menumpas Lembu Sora pada saat mau menghadap Raden Wijaya.

Pemberontakan Lembu Nambi (1316)
Pemberontakan Nambi bermula dari perjalanannya mengunjungi orang tuanya Sang Pranaraja, yang memegang kekuasaan otonom untuk wilayah Majapahit di sisi timur yang berpusat di Lumajang. Pemberian wilayah otonom ini merupakan bagian dari perjanjian antara Raden Wijaya dengan Aria Wiraraja sebagai imbalan apabila penguasa Sumenep tersebut bisa membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Aria Wiraraja berhasil meyakinkan Jayakatwang untuk percaya kepada Raden Wijaya untuk membuka wilayah perburuan di Hutan Tarik, mengerahkan putra-putranya menjadi pasukan Raden Wijaya dalam memerangi Jayakatwang, mengusir Tentara Mongol, sampai mendirikan Kerajaan Majapahit.

Sampai di Lumajang, ayah Nambi yang sakit keras sudah meninggal, dan dia berduka. Sri Jayanegara yang mendengar berita meninggalnya Aria Wiraraja sang Pranaraja mengirim utusan untuk menyampaikan bela sungkawa. Cukup lama Nambi tinggal di Lumajang dan hal ini akhirnya menjadi masalah dan kecurigaan di Majapahit, bahkan sampai beredar kabar bahwa Nambi melakukan penggalangan kekuatan di Lumajang untuk memberontak kepada Majapahit. Raja Jayanegara akhirnya mengirim pasukan yang dipimpin Mahapati untuk menumpas Pemberontakan Nambi. Pemberontakan Nambi bisa dipadamkan dan istana lumajang dihancurkan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1316 atau tahun saka 1238 (dengan sengkala mukti guna paksa rupa).

Dalam Kitab Pararaton, Pemberontakan Nambi merupakan hasil rekayasa salah satu pejabat kepercayaan Jayanegara, yaitu Mahapati. Kunjungan Patih Nambi ke Lumajang merupakan usulan Mahapati yang memberi tahu bahwa Jayanegara kurang suka dengan kabar pembangunan benteng di Lumajang oleh Aria Wiraraja dan juga curiga kepada Nambi sebagai anaknya. Keputusan Nambi menambah cuti sehingga tidak segera kembali ke Majapahit juga atas usulan Mahapati waktu diutus Jayanegara untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Aria Wiraraja. Ulah Mahapati juga yang menyampaikan laporan kepada Jayanegara bahwa Nambi akan melakukan pemberontakan, sampai Jayanegara memutuskan untuk menumpas pemberontakan Nambi yang dipimpin oleh Mahapati. Setelah penumpasan pemberontakan Nambi, Mahapati diangkat menjadi Patih Majapahit menggantikan Nambi. Dalam prasasti Tuhanyaru (1323) diketahui bahwa gelar Mahapati adalah Dyah Halayudha.

Pemberontakan dalam Istana oleh Ra Kuti  dan Ra Tanca (1319)
Pemerontakan Kuti dilakukan oleh salah satu dari 7 orang kepercayaan Raden Wijaya di awal pendirian Kerajaan Majapahit. Mereka disebut sebagai Darmaputra yang terdiri dari orang-orang yang berjasa dalam pelariannya dari kejaran Pasukan Jayakatwang sampai akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit. Setelah Raden Wijaya wafat dan digantikan oleh putranya Jayanegara yang dikenal sebagai Kalagemet, para Darmaputra ini merasakan tidak diperlakukan dengan baik. Salah satu Darmaputra Ra Kuti mewujudkan ketidaksukaannya terhadap Jayanegara melalui pemberontakan dan menyebarluaskan bahwa Raja Jayanegara telah berlaku tidak sopan karena berbuat tidak senonoh kepada istrinya.  

Pemberontakan ini termasuk berhasil, bahkan sampai menguasai Istana Majapahit, dan Jayanegara sampai menyelamatkan diri keluar istana. Raja Jayanegara sampai dibawa bersembuyi di Desa Badander oleh Gajahmada. Pararaton menyatakan bahwa pemberontakan Kuti berselisih tiga tahun dengan Pemberontakan Nambi atau berlangsung sekitar 1319. Raja Jayanegara akhirnya bisa kembali berkuasa di Istana Majapahit setelah Pemberontakan Kuti bisa ditumpas. Mulai dari Pemberontakan Kuti inilah nama Gajahmada yang menjadi Komandan Pasukan Istana. Setelah memastikan pembesar istana masih mendukung Jayanegara, Gajahmada akhirnya menumpas pemberontakan Ra Kuti. Atas jasanya menyelamatkan Raja Jayanegara dan menumpas Ra Kuti, Gajahmada diangkat menjadi Patih Daha yang berkedudukan di Kediri.

Selain oleh Ra Kuti, pemberontakan oleh Darmaputra juga dilakukan oleh Ra Tanca, Darmaputra yang ahli pengobatan. Ra Tanca mendapatkan informasi dari istrinya bahwa Raja Jayanegara melarang adiknya Tribuana Tunggadewi dan bermaksud menijadikannya istri. Ketika Raja Jayanegara sakit, Ra Tanca diminta untuk mengobati raja tapi justru membunuhnya. Melihat pembunuhan yang dilakukan oleh Ra Tanca, Gajahmada langsung bertindak membunuh Ra Tanca. Menurut Pararaton, Pembunuhan Raja oleh Ra Tanca merupakan rekayasa Gajahmada. Setelah Jayanegara Tewas, penguasa Daha dimana Gajahmada menjadi Patih, yaitu Tribuana Tunggadewi diangkat menjadi Ratu bersama ibu suri Rajapadni. Gajahmada makin dekat dengan istana bahwa Tribuana Tunggadewi menjadikan Gajahmada sebagai orang tua baptis putra pertamanya Hayamwuruk.

Pemberontakan Sadeng (1331)
Setelah Tribuana Tunggadewi dilantik menjadi Ratu Majapahit sepenuhnya setelah Rajapadni mengundurkan diri untuk menjadi biksuni, Gajahmada ditawari untuk menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah yang sudah tua dan sering sakit. Dalam Pararaton dikisahkan bahwa Gajahmada tidak bersedia menjadi Mahapatih meskipun juga didukung oleh Aria Tadah yang akan digantikannya. Gajahmada menyatakan hanya bersedia menjadi Mahapatih di Majapahit apabila berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Sadeng di wilayah Timur Majapahit. Gajahmada mendapatkan mandat dari Ratu Tribuana Tunggadewi dan berhasil menumpas Pemberontakan Sadeng dan Keta –yang kini berada di daerah Jember dan sekitarnya. Wilayah Timur Majapahit yang sebelumnya berada di bawah kontrol keluarga Aria Wiraraja, disatukan kembali sepenuhnya setelah padamnya Pemberontakan Sadeng.

Setelah berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta, Gajahmada bersedia ditunjuk menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara pelantikannya menjadi Mahapatih, Gajahmada menyampaikan ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Amukti Palapa. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Gajah mada megucapkan sumpanya yang terkenal itu; Sumpah Palapa, dengan dukungan penuh Tribhuwanatunggadewi. Pelantikan Gajahmada sebagai rakryan Patih Amangkubhumi Majapahit terjadi pada tahun 1334 Masehi.

Pemberontakan Bre Wirabhumi yang Menjadi Perang Paregrek (1404)
Setelah Gajahmada menjadi Mahapatih Kerajaan Majapahit, tidak ada catatan adanya pemberontakan. Kalau pun ada peperangan, yang terjadi adalah dalam konteks ekspansi untuk perluasan kontrol atau pengaruh Majapahit ke kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah nusantara, dalam hal ini termasuk Perang Bubat yang berkaitan dengan upaya menguatkan Majapahit  dengan Kerajaan Sunda. Pemberontakan berikutnya yang terjadi di Majapahit mulai terjadi lagi setelah wafatnya Hayamwuruk.

Bre Wirabhumi yang menjadi Adipadi Blambangan melakukan pemberontakan karena merasa punya hak atas tahta Majapahit karena statusnya sebagai anak Hayamwuruk meskipun dari selir. Dia merasa lebih berhak daripada Wikramawardhana yang berstatus sebagai menantu karena menjadi suami Dewi Suhita -putri sulung Hayamwuruk. Pemberontakan ini menjadi perang besar yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang antara antara Bre Wirabhumi di Blambangan melawan Wikramawardhana yang menjadi Raja di Istana Majapahit ini berakhir pada tahun 1406 setelah Bre Wirabhumi tewas.

Peristiwa Perang Paregreg ini dikisahkan menjadi Legenda Damarwulan. Dalam legenda ini, disebutkan bahwa Ratu Kencana Ungu yang berkuasa di Majapahit menghadapi pemberontakan Minakjinggo yang menjadi penguasa Blambangan. Ratu Kencana Ungu kemudian dibantu oleh seorang pemuda bernama Damarwulan yang akhirnya berhasil mengalahkan Minakjinggo setelah berhasil mencuri senjata andalannya Gada Besi Kuning. Damarwulan kemudian menikahi Ratu Kencana Ungu dan menjadi Raja Majapahit.

Pemberontakan Bre Kertabhumi (1466)
Bre Kertabhumi putra Bre Wirabumi, atau cucuk Hayamwuruk yang menjadi Raja Negara Bawahan di Kahuripan. Karena menganggap mempunyai hak atas tahta Istana Majapahit di Wilwatikta, Bre Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap Singhawikramawardhana. Bre Kertabhumi berhasil mengalahkan pasukan Singhawikramawardhana dan menguasai Istana Majapahit di Trowulan Mojokerto. Bre Kertabumi dilantik menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya V. Selama menjadi Raja ini, Bre Kertabhumi atau Brawijaya V mengundang putranya dari selir, Raden Patah, dan menunjuknya menjadi Bupati di Glagah Wangi yang kemudian namanya diubah menjadi Demak oleh Raden Patah. 

Pemberontakan Singhawikramawardhana (1468)
Setelah lolos dari pemberontakan Bre Kertabhumi yang yang merebut Istana Majapahit di Trowulan, Girindrawardhana membangun kekuatan di Daha Kediri dan menyatakan tetap sebagai Raja Majapahit. Dalam periode 1468 sampai 1478 kerajaan Majapahit mempunyai dua Raja, yaitu Bre Kertabhumi yang berkedudukan di Istana Trowulan Majapahit dan Singhawikramawardhana yang berkedudukan di Daha Kediri. Girindrawardana gagal merebut kembali Istana Majapahit di Trowulan dan wafat pada tahun  1474 dan digantikan putranya Ranawijaya yang bergelar Girindrawardana yang melanjutkan pemberontakan terhadap Bre Kertabhumi. Pada tahun 1478 Girindrawardhana berhasil mengalahkan Bre Kertabhumi dan Majapahit kembali menjadi satu kerajaan, tapi tetap memusatkan pemerintahan Majapahit dari Daha Kediri.

Setelah menyatukan Majapahit, Girindrawardhana menambahkan gelar baginya menjadi Brawijaya VI. Tewasnya Bre Kertabhumi ini ditulis dengan candra sengkala sebagai Sirno Ilang Kertaning Bhumi, tahun 1400 tahun Saka atau 1478 tahun masehi.

Pemberontakan Demak 1478 - 1498
Setelah tewasnya Bre Kertabhumi atau Raja Brawijaya V yang merupakan ayahnya, Raden Patah dan Pendukungnya mendeklarasikan Demak sebagai kerajaan/Kesultanan Demak dan menyatakan perang terhadap Majapahit yang berpusat di Daha di bawah kekuasaan Brawijaya VI. Raden Patah dilantik sebagai Sultan Fatah yang berkuasa di Kesultanan Demak, serta ditabalkan sebagai penerus Brawijaya V. Perang Demak-Majapahit berlangsung selama 20 tahun, dan akhirnya dimenangkan oleh Kesultanan Demak, dan Girindrawardhana tewas pada tahun 1498. Sultan Fatah mengampuni putra Girindrawardhana, Patih Udara yang masih merupakan saudaranya, dan mengangkatnya menjadi bupati di Daha. Patih Udara sempat melakukan pemberontakan setelah Sultan Fatah wafat pada tahun 1518, tapi pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Dipati Unus dan Patih Udara tewas.

Pemberontakan Demak ini menjadi pemberontakan terakhir di masa Majapahit dan sekaligus mengakhiri Kerajaan Majaphit, yang sisa-sisanya ada di Daha Kediri. Kesultanan Demak mendapatkan legitimasi sebagai kelanjutan Kerajaan Majapahit kerena didirikan oleh Raden Patah yang merupakan putra Bre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V.  

Penulis: gus Bowie


Prasasti Pucangan yang Terdampar di Kalkuta

Tepat di hari bahagia menyambut pernikahan putri Raja Dharmawangsa dengan Airlangga Putra Raja Udhayana, istana Kerajaan Medang mendapatkan serangan dari utara. Serangan tiba-tiba oleh pasukan Kerajaan Warawuri yang didukung Kerajaan Sriwijaya ini membuat istana Kerajaan Medang hancur. Serang yang terjadi satu tahun setelah serangan Kerajaan Medang ke Kerajaan Sriwijaya ini menewaskan Raja Dharmawangsa. Airlanggaberhasil menyelamatkan diri dan melarikan diri ke hutan bersama pengawalnya.

Setelah tiga tahun melanglang buana di hutan dan gunung di Jawa Timur, Airlangga didatangi utusan rakyat dan pengikut setia Kerajaan Medang yang memintanya untuk menyatukan kembali kerajaan Medang. Airlangga yang merupakan pewaris tahka Kerajaan Bali akhirnya menerima permohonan rakyat Medang ini dan merelakan posisinya sebagai putra mahkota Raja Udayana. Hal ini karena Airlangga juga adalah penerus Kerajaan Medang karena ibunya adalah adik Raja Dharmawangsa, yaitu Mahendrata. Airlangga pun membangun pusat kekuasaannya di Lereng Gunung Penanggungan

Airlangga mulai menyatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Timur, terutama yang sebelumnya menjadi negara bagian Kerajaan Medang. Upaya ini banyak yang dilakukan melalui peperangan. Satu persatu kerajaan kecil di Jawa Timur berhasil ditaklukkan. Meskipun istananya di Lereng Penanggungan sempat dihancurkan musuh, Airlangga mendirikan kembali istananya di Sidoarjo dengan nama Kahuripan. Pasukan Airlangga akhirnya berhasil mengalahkan Kerajaan Warawuri untuk membalaskan penghancuran Istana Medang pada 928 tahun Saka atau 1006 masehi. Kemenangan Airlangga atas Kerajaan Warawuri ini tidak lepas dari absennya dukungan dari Kerajaan Sriwijaya yang melemah karena serangan dari Kerajaan Cola yang berpusat di India.

Kisah tentang sepak terjang Pendiri Kerajaan Kahuripan ini ditulis dalam Kakawin Arjuna Wiwaha yang digubah oleh mPu Kanwa. Kisah kepahlawanan Airlangga digambarkan seperti Arjuna dalam menghadapi Barata Yudha melawan Kurawa. Kisah putra Raja Bali yang memilih membangun kembali Kerajaan Medang di Jawa ini juga diabadikan di dalam Prasasti Pucangan yang ditemukan di Lereng Gunung Penanggungan di Kabupaten Mojokerto. Selain berisi kisah kepahlawanan Airlangga yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta di satu sisi, sedang pada bagian yang berbahasa Jawa Kuna disebutkan pada tanggal 10 paro terang bulan kartika 963 saka (6 November 1041), Airlangga memerintahkan agar daerah-daerah Pucangan, Brahem, dan Bapuri dijadikan Sima untuk kepentingan sebuah pertapaan yang telah didirikannya.

Di puncak kekuasaannya, Raja Airlangga membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua untuk dibagikan kepada dua putra, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri. Airlangga kemudian berhenti menjadi raja, melakukan suksesi dengan damai, lengser keprabon untuk menjadi pertapa di Gunung Penanggungan.

Di mana Prasasti Pucangan kini? Salah satu bukti otentik tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad 11 tersebut kini tidak ada di Indonesia dan terdampar di gudang Museum India di Kalkuta. Alkisah Prasasti Pucangan ditemukan oleh Stamfor Raflles ketika menjadi Gubernur Jenderal Kolonial Inggris di Asia Tenggara di awal abad 19. Raffles membawa Prasasti Pucangan bersama ke Jakarta dan kemudian dijadikan persembahan kepada atasannya Lord Minto yang menjadi Gubernur Jenderal Kerajaan Inggris di India sewaktu datang ke Pulau Jawa pada tahun 1811.

Lord Minto membawa Prasasti Pucangan ke India bersama dengan Prasasti Sangguran yang ditemukan oleh Rafles di Malang Jawa Timur. Setelah tugasnya di India berakhir, Lord Minto membawa Prasasti Sanggguran ke kampung halamannya di Skotlandia, sedangkan Prasasti Pucangan diberikannya kepada Museum India yang ada di Kalkuta. Dua prasasti milik bangsa Indonesia tersebut kini juga dikenal dengan nama lain, yaitu “Calcuta Stone” untuk Prasasti Pucangan dan “Minto Stone” untuk Prasasti Pucangan.

Prasasti Pucangan jelas merupakan benda bersejarah yang sangat penting bagi Indonesia dan tidak begitu penting bagi India –karenanya hanya disimpan di gudang, bukan dipajang untuk disaksikan oleh pengunjung Museum. Meskipun begitu, upaya mengembalikan prasasti tersebut ke Indonesia tidak mudah. Hasyim Joyohadikusumo, seorang pengusaha nasional pernah berusaha mengembalikan prasasti tersebut ke Indonesia tapi belum berhasil.

Piagam berbentuk batu andesit ini cukup besar yang membutuhkan biaya cukup besar untuk menebus dan mengangkutnya.kembali ke Indonesia. Upaya pribadi dari pengusaha nasional untuk mengembalikan bukti sejarah nasional tersebut sangat layak diapresiasi. Meskipun begitu, upaya membawa Prasasti Pucangan ke Indonesia akan lebih kuat apabila dilakukan oleh Pemerintah RI karena selain aspek biaya dan teknik pengangkutan, ada hal tidak kalah penting yaitu diplomasi antara dua negara yang mempunyai ikatan sejarah yang kuat. Upaya ini bisa sekaligus untuk memperkuat kerjasama Indonesia-India melalui diplomasi sejarah.

Upaya membawa Prasasti Pucangan ke Indonesia akan menjadi sulit apabila Malaysia berhasil menebusnya lebih dahulu. Negeri tetangga ini juga merupakan bagian dari sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara dan mempunyai klaim untuk menjadi pusat nusantara atau Asia Tenggara. Bahkan kini pun sudah mempunyai klaim sebagai “True the Asia”.

Penulis: gus Bowie


Mengapa Madukopie?

Berbicara tentang madu dan kopi sangat akrab dengan Indonesia. Banyak daerah di Indonesia yang menghasilkan produk madu dan kopi dengan kekhasan masing-masing. Baik di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Tmur ada beberapa kabupaten yang menghasilkan produk madu khasnya. Pada umumnya madu dikenal berdasarkan nama asal daerahnya. Ada madu Pontianak di Kalimantan, madu Lampung di Sumatera, madu Pati di Jawa, Madu Sumbawa di Nusa Tenggara Barat (NTB), Madu Flores di Nusa Tenggara Timor, juga ada madu Sulawesi dan madu Papua. 

Madu di Indonesia dihasilkan oleh 6 spesies lebah dari 7 spesies yang ada di dunia. Meskipun begitu, madu yang dihasilkan mempunyai teste yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini tergantung dengan jenis pohon yang nektarnya dipanen oleh lebah. Ada madu yang manis, sangat manis, agak asam, bahkan ada madu yang rasanya pahit. Beda pohon penghasil nektar juga menyebabkan manfaat herbal yang bisa dirasakan oleh yang meminum madu.   

Tentang kopi, sebaran daerah yang menghasilkan kopi di Indonesia lebih luas lagi, yang yang membentang dari Aceh di ujung barat sampai Papua di ujung timur Indonesia. Untuk kopi arabika, di Pulau Jawa saja dikenal kopi Jampit, kopi Kayumas, kop Ijen, kopi Bondowoso, kopi Wonosobo, kopi Temanggung, kopi Blue Java, kopi Arjuno, kopi Preanger, kopi Sunda Hejo, kopi Karlos,  dan lain. lain. Di Pulau Sumatera juga demikian, ada kopi: Aceh Gayo, Longberry Gayo, Linthong, Porsea, Padang Solok, Sidikalang, Mandailing Toba/Karo, Bengkulu, Dolok Sanggul, dan lain-lain. Kopi arabika yang di tanam di lain daerah juga berbeda lagi, seperti Kopi Toraja (Sulawesi), Kopi Kintamani (Bali), Kopi Bajawa (Flores), Mopi Wamena (Papua) dan lain-lain.

Kopi jenis robusta juga demikian. Ada  kopi Gayo, Lampung, Dampit,  Jember, Temanggung, Bengkulu, Floress, Toraja Malino, Sumbawa dan lain-lain. Varietas yang paling sedikit diproduksi adalah kopi liberika atau dikenal sebagai kopi nangka -yang terutama dikenal dihasilkan oleh Kabupaten Jember (Jawa Timur) dan Kabupaten Tanjung Jabung (Jambi).    

Meskipun jenis kopi bisa dikatakan hanya ada 3 yaitu robusta, arabika dan liberika, kopi memiliki rasa dan aroma yang berbeda-beda sesuai dengan daerah penghasilnya. Hal ini karena dipengaruhi oleh unsur hara di dalam tanah, mineral di dalam sumber air yang mengairi kopi, udara yang berhembus dan lain-lain. Beragamnya kebudayaan kopi juga berkembang dari cara pengolahan, cara memanggang kopi, proses sampai menghasilkan bubuk kopi dan juga cara penyeduhan. Ada yang disajikan di cangkir atau gelas kecil, gelas sedang dan ada juga yang disajikan dalam gelas atau muk besar. Semuanya disajikan dengan tradisi dan gayanya masing-masing dan gaya-gaya semuanya.

Jadi berbicara tentang madu dan kopi sangat cocok sebagai kata kunci untuk berbicara tentang Indonesia dengan beragam daerah yang beragam. Daerah-daerah punya mempunyai bahasa, tradisi, kebudayaan, pakaian adat, cerita sejarah, bahkan model dan budaya monarki yang berbeda pula. Semuanya layak untuk eksis dan berbagi kisah, tradisi, budaya, sejarah, maupun nilai-nilai -sebagai Indonesia. Hal ini juga bisa menjadi penting sebagai informasi untuk saling belajar, saling mengunjungi, karena masing-masing daerah dan budaya mempunyai sisi eksotiknya masing-masing.  

Blog ini akan menyediakan informasi tentang beragam daerah di Indonesia, terutama tentang identitasnya, baik berkaitan dengan produk khas, sejarah monarki, lokasi wisata, tradisi, bahkan termasuk anekdot atau mob yang berkembang di daerah. Berawal dari madu dan kopi, semoga blog ini bisa menjadi ruang yang melengkapi perspektif untuk mengenal Indonesia.