Banyak orang sering mendengar ungkapan “Senja di Kaimana” yang konon begitu
indah, tapi yang saya alami sebaliknya –senja tertutup mendung dan justru
Kehujanan di Kaimana yang saya dapatkan. Kisah ini terjadi awal Juni 2009. Singkat
kisah, berhubung tokoh utama yang diharapkan berhalangan datang, saya pun
jadinya on duty untuk hadir dalam acara
di Kabupaten Kaimana Papua Barat. Waktunya sangat mepet dan sebenarnya punggung
masih pegal-pegal sisa perjalanan darat selama 21 Jam di Aceh karena gagal naik
Susi Air –dari Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Meulaboh, menyeberangi hutan
ke Pidie, Lhok Seumawe sampai ke Aceh Timur.
Rasanya jalan dari ujung barat ke ujung timur Indonesia terasa begitu jauh.
Tapi legenda “Senja di Kaimana” begitu membuat saya penasaran dan cukup kuat
memanggil. Saya juga berpikir bahwa apabila dalam kondisi harus melaksanakan
sesuatu “Tanyakan manfaat dari apa yang harus kamu kerjakan, dan insyah Allah
akan ditunjukkan hikmahnya”. Mantap... berangkat..!
Acara dilaksanakan Selasa siang hari, tapi saya harus meluncur dari Bandung
Minggu sore karena penerbangan terdekat adalah pukul 01.30 Senin dini hari. Saya
baru paham bahwa penerbangan ke Papua hanya bisa sampai dari pagi sampai sore,
makanya harus terbang malam dari Jakarta. Salah satu pertimbangannya adalah
karena wilayah Papua da Maluku memiliki pola cuaca yang berbeda dan rawan bagai
di malam hari.
Penerbangan sesuai jadwal dan cukup tepat waktu. Jam tangan menununjukkan
pukul 05.00 pagi pesawat mendarat di Ambon, ternyata pukul 07.00 dan penumpang
harus turun untuk ganti pesawat. Rasanya saya tidak sempat siuman, seperti
jalan sambil tidur. “Hmm… pasti masih jam 5 pagi di Jakarta”. Jam 8 pesawat
terbang lagi menuju Kaimana, lamat-lamat terdengar informasi bahwa pesawat akan
sampai di Kaimana pukul 09.30. Pesawat dua kali masuk badai dan dua kali pula
terdengar kegaduhan dan teriakan mama-mama yang ketakutan. Pukul 10.00 pesawat
mendarat, bukan di Kaimana tapi di Nabire Propinsi Papua. “Wah ada apa ini?”
Kondisi cuaca memaksa pesawat mendarat dulu di Nabire. Singkat cerita pesawat
mendarat di Kaimana Jam 13.00 –telat 3 jam lebih dari jadwal semula. Alhasil,
saya pun harus membayar rental mobil penjemput dua kali lipat karena mobil
harus bolak-balik jam 09.30 dan jam 13.00. Ya wis… “Lain ladang lain belalang,
lain kolam lain ikannya” –dan belalang harus ikut dengan kondisi ladang.
Sorenya saya langsung ke pantai Kaimana, dengan harapan menggebu bisa melihat matahari tenggelam yang puncak keindahannya diabadikan dalam lagu Rahmat Kartolo “Senja di Kaimana” sewaktu operasi pembebasan Irian Barat di awal tahun 1960-an. Ternyata cuaca mendung, gerimis, dan angin laut sangat kencang. Hari pertama saya kehujanan dan gagal menemui indahnya “Senja di Kaimana”.
Sorenya saya langsung ke pantai Kaimana, dengan harapan menggebu bisa melihat matahari tenggelam yang puncak keindahannya diabadikan dalam lagu Rahmat Kartolo “Senja di Kaimana” sewaktu operasi pembebasan Irian Barat di awal tahun 1960-an. Ternyata cuaca mendung, gerimis, dan angin laut sangat kencang. Hari pertama saya kehujanan dan gagal menemui indahnya “Senja di Kaimana”.
Hari kedua, selesai pertemuan singkat yang selesai jam 13.00, saya mencoba
lagi peruntungan pergi sendirian ke Pantai. Ternyata saya ketemu lagi dengan
hujan dan sejauh mata memandang ke arah barat dari Kaimana langit tertutup awan
hitam yang militan. Saya pun tidak mau kalah militan dan datang lagi ke pantai
Kaimana di hari ketiga. Kali ini saya lebih dulu makan ikan bakar di warung
yang penjualnya adalah keluarga asal Lamongan Jawa Timur. Ternyata saya tidak
bernasib baik, Kaimana kembali hujan dan mendung menutupi matahari yang akan
tenggelam di Laut Arafura.
Dari ngobrol dengan seorang anggota DPRD Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan cerita bahwa ada waktu yang tepat untuk bisa melihat keindahan Senja di Kaimana. Katanya, awal Mei 2009 beberapa menteri datang ke Kaimana ingin melihat senja di sini, tapi tidak kesampaian karena langit berawan. Dia bercerita juga bahwa yang berhasil melihat Senja di Kaimana adalah Wakil Presiden Yusuf Kalla, yang datang pada bulan Desember 2008.
Dari ngobrol dengan seorang anggota DPRD Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan cerita bahwa ada waktu yang tepat untuk bisa melihat keindahan Senja di Kaimana. Katanya, awal Mei 2009 beberapa menteri datang ke Kaimana ingin melihat senja di sini, tapi tidak kesampaian karena langit berawan. Dia bercerita juga bahwa yang berhasil melihat Senja di Kaimana adalah Wakil Presiden Yusuf Kalla, yang datang pada bulan Desember 2008.
Agak berbeda memang iklim di Papua dengan iklim di Pulau Jawa yang
dipengaruhi angin muson barat yang basah dan angin muson timur yang kering. Apa
yang terjadi di Papua tidak seperti siklus musim di Pulau Jawa. Cuaca cerah
bulan Juni di Pulau Jawa ternyata hujan di Papua, sedangkan bulan Desember yang
menjadi masa “gede-gedenya sumber” di Pulau Jawa ternyata menjadi masa yang
cerah di Papua.
Keindahan senja di Kaimana memang tidak bisa dinikmati sambil lalu, sambil
numpang diongkosi, sekaligus berharap keberuntungan. Perlu direncanakan dengan
sengaja, menimbang saat yang tepat, dan menyediakan waktu yang cukup.Niscaya
keberuntungan pun akan menjemput. Insya Allah.
Penulis: gus Bowie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar