Di tahun 1290 Kerajaan Singasari
berada di puncak kejayaannya. Dipimpin Raja Kertanegara, kerajaan yang berpusat
di Kediri Jawa Timur ini menyatukan dua Kerajaan di Jawa Timur dan memimpin
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dalam satu koalisi untuk menaklukkan Kerajaan
di Bali dan menguatkan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Setelah
mengusir utusan dari Kerajaan Mongol yang meminta Singasari menjadi negara
bawahan, Singasari melakukan misi militer dan diplomatik besar-besaran ke
wilayah Melayu. Sri Kertanegara percaya diri bahwa upayanya ke sisi barat
nusantara ini bisa menghadang kekuatan dari utara, dari Kerajaan Mongol yang
mungkin menuntut balas.
Sayangnya mobilisasi kekuatan
militer besar-besaran ini menciptakan kelemahan militer di pusat kerajaan.
Jayakatwang dari Gelang Gelang yang belum lama mendapatkan pengampunan dari
Raja Kertanegara melakukan serangan cepat langsung ke istana kerajaan berhasil
melumpuhkan kekuatan militer yang tersisa, berhasil membunuh Raja Kertanegara
dan para pembesar kerajaan yang tinggal di pusat kerajaan. Salah satu keponakan
Raja Kertangera, Sangrama Wijaya, berhasil melarikan diri dan selamat sampai
Pulau Madura dan mendapatkan perlindungan dari penguasa Sumenep, Aria Wiraraja.
Keberhasilan ini berkat pertolongan pimpinan dan warga Desa Kudadu. Setelah
beberapa hari diburu pasukan Jayakatwang, rombongan ia lolos dari buruan karena
disembunyikan, diberi pasokan makanan, dan dikawal sampai mendapatkan jalan
aman sampai ke Sumenep.
Penguasa Sumenep, Aria Wiraraja,
memberikan perlindungan kepada Sangrama Wijaya, memintakan ampun kepada
Jayakatwang, hingga mendapatkan ijin membuka hutan Tarik di Trowulan, dimana ia
bisa mengkonsolidasi kekuatan sisa-sisa Singasari. Dengan “memanfaatkan”
Pasukan Mongol yang hendak menuntuk balas kepada Sri Kertanegara, ia berhasil
mengalahkan Jayakatwang, dan setelah mengusir pasukan Mongol dengan tipu
muslihan dan gerilya, ia mendirikan Kerajaan Majapahit di Trowulan. Ia
ditahbiskan menjadi Raja Majapahit dengan gelar “Kertarajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa“.
Sejarah mengenalnya sebagai Raden Wijaya.
Atas jasa-jasa pemimpin Desa
Kudadu, Raden Wijaya memberikan penghargaan (anugrah) kepada pejabat dan
masyarakat Desa Kudadu, dengan menetapkan
Desa Kudadu sebagai sīma atau tanah perdikan untuk dinikmati oleh
pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Dengan
menjadi Sima, pejabat desa berhak mengambil manfaat dari tanah yang dikuasainya
tanpa dipungut pajak oleh kerajaan, baik untuk pertanian, memanen buah dan
kayunya dan lain-lain. Penetapan Desa Kudadu sebagai Sima ini dilakukan pada 11
September 1294 melalui Prasasti Kudadu, yang dipahat dalam beberapa lempeng
tembaga dengan tulisan aksara Kawi Majapahit.
Prasasti Kudadu ditemukan di
lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur yang
terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. Prasasti
yang juga dikenal sebagai Prasasti Butak ini, selain menetapkan Desa Kudadu
sebagai Sima, juga menuliskan kisah heroik pimpinan Desa Kudadu yang memberikan
persembunyian, makan-minum, sampai ke Ramban, tempat di mana Raden Wijaya dan
rombongannya, termasuk Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora dan lain-lain melanjutkan
pelarian sampai ke Sumenep dengan selamat.
Prasasti Kudadu menjadi bukti
tentang proses transisi dari Kerajaan Singasari sampai terbentuknya Kerajaan
Majapahit, situasi konflik dan gambaran relasi kehidupan masyarakat desa dengan
pembesar kerajaan. Prasast ini juga memberikan konfirmasi tentang kebenaran
kisah tentang Kerajaan Majapahit yang ditulis oleh Prapanca dalam Negara
Kertagama pada lembar-lembar daun lontar. Pemimpin dan warga Desa Kudadu
memberikan perlindungan kepada Raden Wijaya dan mereka memanen anugrah yang layak.
Penulis gus Bowie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar