Kerajaan Majapahit dikenal
sebagai kerajaan maritim besar di Indonesia, dan memiiki rentang kekuasaan sampai
seluruh pulau di wilayah nusantara. Dari ujung barat sampai ke Aceh,
semenanjung Malaka, bersekutu dengan kerajaan-kerajaan di Thailand, Vietnam dan
Kamboja. Di Utara pengaruh kekuasaan Majapahit sampai ke Kepulauan Zulu di
Selatan Philipina dan di ujung Timur sampai ke Papua. Di balik kebesaran
Majapahit sebenarnya banyak terjadi pemberontakan, baik di masa awal pendirian
di tahun 1293 maupun pasca kekuasaan Hayamwuruk hingga runtuhnya pemerintahan
terakhir yang berpusat di Daha Kediri oleh pemberontakan Demak pada tahun 1512.
Pembenrontakan
Ranggalawe 1295
Pemberontakan Ranggalawe terjadi tidak lama setelah
pembentukan pemerintahan pertama Kerajaan Majapahit. Pemberotakan ini dipicu
oleh rasa kecewa Ranggalawe karena Raden Wijaya, justru mengangkat Mpu Nambi
sebagai Mahapatih. Senopati Ranggalawe yang dinilai paling berjasa dalam
membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang dan kemudian mengusir Pasukan
Mongol hanya ditunjuk menjadi Adipati di Tuban. Kemarahan Ranggalawe sempat
bisa diatasi oleh kakaknya Lembu Sorayang meminta Ranggalawe untuk pulang ke
Tuban untuk berunding dengan ayahnya –Aria Wiraraja.
Begitu Ranggalawe berangkat pulang ke Tuban, tidak lama
kemudia Pasukan Majapahit yang dipimpin Kebo Anabrang menyusul ke Tuban. Perang
antara Pasukan Mahisa Anabrang dan Pasukan Ranggalawe terjadi di Sungai Tambak
Beras. Ranggalawe yang menjadi Senopati dalam perang melawan Jayakatwang dan
pengusiran Tentara Mongol dikalahkan oleh Mahisa Anabrang yang menjadi Senopati
dalam rombongan ekspedisi Singasari ke Kerajaan Melayu. Tapi Mahisa Anabrang
kemudian tewas karena dibunuh oleh Lembu Sora.
Pemberontakan Lembu
Sora (1301)
Peristiwa pemberontakan Lembu Sora ini muncul setelah
rahasia pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora mulai muncul ke permukaan,
mulai diketahui oleh para pejabat istana. Anak Mahisa Anabrang yang bernama
Mahisa Taruna mulai menyatakan gugatan, dan mulai memunculkan pertanyaan
terhadap sikap Raden Wijaya yang tidak berani bersikap tegas terhadap Lembu
Sora yang telah melakukan pelanggaran etika berat. Menurut Kitab
perundang-undangan jaman Majapahit, Kutaramana-wadharmasastra, kesalahannya
bisa dikenakan hukuman mati.
Mengetahui kondisi makin panas, Raden Wijaya akhirnya
memanggil Lembu Sora. Lembu Sora yang makin terpojok akhirnya memutuskan untuk
datang menghadap Raden Wijaya, ditemani beberapa pengikutnya. Tapi kedatangan
Lembu Sora ke istana Majapahit dalam rombongan besar ini dicurigai sebagai
pemberontakan. Sesampai di gerbang istana, Lembu Sora disambut pasukan pengawal
istana yang menyatakan bahwa Raja tidak mau menerima Lembu Sora. Perselisihan
di depan istana dengan cepat berkembang menjadi pertempuran dan rombongan Lembu
Sora ditumpas oleh pasukan istana.
Kitab Pararaton mulai menyebut peran Mahapatih yang
berperan penting dalam peristiwa Lembu Sora. Dikisahkan bahwa dialah yang mulai
membuka rahasia dan menyebarluaskan pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora
secara curang dari belakang setelah Mahisa Anabrang membunuh Ranggalawe yang
tidak lain adalah adik Lembu Sora. Mahapati pula yang memberitahu Mahisa Taruna
sehingga melakukan gugatan, dan dia pula yang memberikan informasi kepada Raden
Wijaya bahwa Lembu Sora berniat memberontak, sehingga diputuskan untuk menumpas
Lembu Sora pada saat mau menghadap Raden Wijaya.
Pemberontakan Lembu Nambi
(1316)
Pemberontakan Nambi bermula dari perjalanannya mengunjungi
orang tuanya Sang Pranaraja, yang memegang kekuasaan otonom untuk wilayah
Majapahit di sisi timur yang berpusat di Lumajang. Pemberian wilayah otonom ini
merupakan bagian dari perjanjian antara Raden Wijaya dengan Aria Wiraraja
sebagai imbalan apabila penguasa Sumenep tersebut bisa membantu Raden Wijaya mengalahkan
Jayakatwang. Aria Wiraraja berhasil meyakinkan Jayakatwang untuk percaya kepada
Raden Wijaya untuk membuka wilayah perburuan di Hutan Tarik, mengerahkan
putra-putranya menjadi pasukan Raden Wijaya dalam memerangi Jayakatwang,
mengusir Tentara Mongol, sampai mendirikan Kerajaan Majapahit.
Sampai di Lumajang, ayah Nambi yang sakit keras sudah
meninggal, dan dia berduka. Sri Jayanegara yang mendengar berita meninggalnya
Aria Wiraraja sang Pranaraja mengirim utusan untuk menyampaikan bela sungkawa.
Cukup lama Nambi tinggal di Lumajang dan hal ini akhirnya menjadi masalah dan
kecurigaan di Majapahit, bahkan sampai beredar kabar bahwa Nambi melakukan
penggalangan kekuatan di Lumajang untuk memberontak kepada Majapahit. Raja
Jayanegara akhirnya mengirim pasukan yang dipimpin Mahapati untuk menumpas
Pemberontakan Nambi. Pemberontakan Nambi bisa dipadamkan dan istana lumajang
dihancurkan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1316 atau tahun saka 1238 (dengan
sengkala mukti guna paksa rupa).
Dalam Kitab Pararaton, Pemberontakan Nambi merupakan hasil
rekayasa salah satu pejabat kepercayaan Jayanegara, yaitu Mahapati. Kunjungan
Patih Nambi ke Lumajang merupakan usulan Mahapati yang memberi tahu bahwa
Jayanegara kurang suka dengan kabar pembangunan benteng di Lumajang oleh Aria
Wiraraja dan juga curiga kepada Nambi sebagai anaknya. Keputusan Nambi menambah
cuti sehingga tidak segera kembali ke Majapahit juga atas usulan Mahapati waktu
diutus Jayanegara untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Aria
Wiraraja. Ulah Mahapati juga yang menyampaikan laporan kepada Jayanegara bahwa
Nambi akan melakukan pemberontakan, sampai Jayanegara memutuskan untuk menumpas
pemberontakan Nambi yang dipimpin oleh Mahapati. Setelah penumpasan
pemberontakan Nambi, Mahapati diangkat menjadi Patih Majapahit menggantikan
Nambi. Dalam prasasti Tuhanyaru (1323) diketahui bahwa gelar Mahapati adalah
Dyah Halayudha.
Pemberontakan dalam
Istana oleh Ra Kuti dan Ra Tanca (1319)
Pemerontakan Kuti dilakukan oleh salah satu dari 7 orang
kepercayaan Raden Wijaya di awal pendirian Kerajaan Majapahit. Mereka disebut
sebagai Darmaputra yang terdiri dari orang-orang yang berjasa dalam pelariannya
dari kejaran Pasukan Jayakatwang sampai akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit.
Setelah Raden Wijaya wafat dan digantikan oleh putranya Jayanegara yang dikenal
sebagai Kalagemet, para Darmaputra ini merasakan tidak diperlakukan dengan
baik. Salah satu Darmaputra Ra Kuti mewujudkan ketidaksukaannya terhadap
Jayanegara melalui pemberontakan dan menyebarluaskan bahwa Raja Jayanegara
telah berlaku tidak sopan karena berbuat tidak senonoh kepada istrinya.
Pemberontakan ini termasuk berhasil, bahkan sampai
menguasai Istana Majapahit, dan Jayanegara sampai menyelamatkan diri keluar
istana. Raja Jayanegara sampai dibawa bersembuyi di Desa Badander oleh
Gajahmada. Pararaton menyatakan bahwa pemberontakan Kuti berselisih tiga tahun
dengan Pemberontakan Nambi atau berlangsung sekitar 1319. Raja Jayanegara
akhirnya bisa kembali berkuasa di Istana Majapahit setelah Pemberontakan Kuti
bisa ditumpas. Mulai dari Pemberontakan Kuti inilah nama Gajahmada yang menjadi
Komandan Pasukan Istana. Setelah memastikan pembesar istana masih mendukung
Jayanegara, Gajahmada akhirnya menumpas pemberontakan Ra Kuti. Atas jasanya
menyelamatkan Raja Jayanegara dan menumpas Ra Kuti, Gajahmada diangkat menjadi
Patih Daha yang berkedudukan di Kediri.
Selain oleh Ra Kuti, pemberontakan oleh Darmaputra juga
dilakukan oleh Ra Tanca, Darmaputra yang ahli pengobatan. Ra Tanca mendapatkan
informasi dari istrinya bahwa Raja Jayanegara melarang adiknya Tribuana
Tunggadewi dan bermaksud menijadikannya istri. Ketika Raja Jayanegara sakit, Ra
Tanca diminta untuk mengobati raja tapi justru membunuhnya. Melihat pembunuhan
yang dilakukan oleh Ra Tanca, Gajahmada langsung bertindak membunuh Ra Tanca.
Menurut Pararaton, Pembunuhan Raja oleh Ra Tanca merupakan rekayasa Gajahmada. Setelah
Jayanegara Tewas, penguasa Daha dimana Gajahmada menjadi Patih, yaitu Tribuana
Tunggadewi diangkat menjadi Ratu bersama ibu suri Rajapadni. Gajahmada makin
dekat dengan istana bahwa Tribuana Tunggadewi menjadikan Gajahmada sebagai
orang tua baptis putra pertamanya Hayamwuruk.
Pemberontakan Sadeng
(1331)
Setelah Tribuana Tunggadewi dilantik menjadi Ratu Majapahit
sepenuhnya setelah Rajapadni mengundurkan diri untuk menjadi biksuni, Gajahmada
ditawari untuk menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah yang sudah
tua dan sering sakit. Dalam Pararaton dikisahkan bahwa Gajahmada tidak bersedia
menjadi Mahapatih meskipun juga didukung oleh Aria Tadah yang akan
digantikannya. Gajahmada menyatakan hanya bersedia menjadi Mahapatih di
Majapahit apabila berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Sadeng di
wilayah Timur Majapahit. Gajahmada mendapatkan mandat dari Ratu Tribuana
Tunggadewi dan berhasil menumpas Pemberontakan Sadeng dan Keta –yang kini
berada di daerah Jember dan sekitarnya. Wilayah Timur Majapahit yang sebelumnya
berada di bawah kontrol keluarga Aria Wiraraja, disatukan kembali sepenuhnya
setelah padamnya Pemberontakan Sadeng.
Setelah berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta,
Gajahmada bersedia ditunjuk menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya
Tadah. Dalam upacara pelantikannya menjadi Mahapatih, Gajahmada menyampaikan
ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Amukti Palapa. Dalam kitab Pararaton
disebutkan bahwa Gajah mada megucapkan sumpanya yang terkenal itu; Sumpah
Palapa, dengan dukungan penuh Tribhuwanatunggadewi. Pelantikan Gajahmada
sebagai rakryan Patih Amangkubhumi Majapahit terjadi pada tahun 1334 Masehi.
Pemberontakan Bre
Wirabhumi yang Menjadi Perang Paregrek (1404)
Setelah Gajahmada menjadi Mahapatih Kerajaan Majapahit,
tidak ada catatan adanya pemberontakan. Kalau pun ada peperangan, yang terjadi
adalah dalam konteks ekspansi untuk perluasan kontrol atau pengaruh Majapahit
ke kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah nusantara, dalam hal ini termasuk
Perang Bubat yang berkaitan dengan upaya menguatkan Majapahit dengan Kerajaan Sunda. Pemberontakan
berikutnya yang terjadi di Majapahit mulai terjadi lagi setelah wafatnya
Hayamwuruk.
Bre Wirabhumi yang menjadi Adipadi Blambangan melakukan
pemberontakan karena merasa punya hak atas tahta Majapahit karena statusnya
sebagai anak Hayamwuruk meskipun dari selir. Dia merasa lebih berhak daripada
Wikramawardhana yang berstatus sebagai menantu karena menjadi suami Dewi Suhita
-putri sulung Hayamwuruk. Pemberontakan ini menjadi perang besar yang dikenal
sebagai Perang Paregreg. Perang antara antara Bre Wirabhumi di Blambangan
melawan Wikramawardhana yang menjadi Raja di Istana Majapahit ini berakhir pada
tahun 1406 setelah Bre Wirabhumi tewas.
Peristiwa Perang Paregreg ini dikisahkan menjadi Legenda
Damarwulan. Dalam legenda ini, disebutkan bahwa Ratu Kencana Ungu yang berkuasa
di Majapahit menghadapi pemberontakan Minakjinggo yang menjadi penguasa
Blambangan. Ratu Kencana Ungu kemudian dibantu oleh seorang pemuda bernama
Damarwulan yang akhirnya berhasil mengalahkan Minakjinggo setelah berhasil
mencuri senjata andalannya Gada Besi Kuning. Damarwulan kemudian menikahi Ratu
Kencana Ungu dan menjadi Raja Majapahit.
Pemberontakan Bre
Kertabhumi (1466)
Bre Kertabhumi putra Bre
Wirabumi, atau cucuk Hayamwuruk yang menjadi Raja Negara Bawahan di Kahuripan.
Karena menganggap mempunyai hak atas tahta Istana Majapahit di Wilwatikta, Bre
Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap Singhawikramawardhana. Bre Kertabhumi berhasil mengalahkan pasukan Singhawikramawardhana dan menguasai
Istana Majapahit di Trowulan Mojokerto. Bre Kertabumi dilantik menjadi Raja
Majapahit dengan gelar Brawijaya V. Selama menjadi Raja ini, Bre Kertabhumi
atau Brawijaya V mengundang putranya dari selir, Raden Patah, dan menunjuknya
menjadi Bupati di Glagah Wangi yang kemudian namanya diubah menjadi Demak oleh
Raden Patah.
Pemberontakan Singhawikramawardhana
(1468)
Setelah lolos dari pemberontakan
Bre Kertabhumi yang yang merebut Istana Majapahit di Trowulan, Girindrawardhana
membangun kekuatan di Daha Kediri dan menyatakan tetap sebagai Raja Majapahit.
Dalam periode 1468 sampai 1478 kerajaan Majapahit mempunyai dua Raja, yaitu Bre
Kertabhumi yang berkedudukan di Istana Trowulan Majapahit dan Singhawikramawardhana
yang berkedudukan di Daha Kediri. Girindrawardana gagal merebut kembali Istana
Majapahit di Trowulan dan wafat pada tahun
1474 dan digantikan putranya Ranawijaya yang bergelar Girindrawardana
yang melanjutkan pemberontakan terhadap Bre Kertabhumi. Pada tahun 1478
Girindrawardhana berhasil mengalahkan Bre Kertabhumi dan Majapahit kembali
menjadi satu kerajaan, tapi tetap memusatkan pemerintahan Majapahit dari Daha
Kediri.
Setelah menyatukan Majapahit,
Girindrawardhana menambahkan gelar baginya menjadi Brawijaya VI. Tewasnya Bre
Kertabhumi ini ditulis dengan candra sengkala sebagai Sirno Ilang Kertaning
Bhumi, tahun 1400 tahun Saka atau 1478 tahun masehi.
Pemberontakan Demak
1478 - 1498
Setelah tewasnya Bre Kertabhumi
atau Raja Brawijaya V yang merupakan ayahnya, Raden Patah dan Pendukungnya
mendeklarasikan Demak sebagai kerajaan/Kesultanan Demak dan menyatakan perang
terhadap Majapahit yang berpusat di Daha di bawah kekuasaan Brawijaya VI. Raden
Patah dilantik sebagai Sultan Fatah yang berkuasa di Kesultanan Demak, serta
ditabalkan sebagai penerus Brawijaya V. Perang Demak-Majapahit berlangsung
selama 20 tahun, dan akhirnya dimenangkan oleh Kesultanan Demak, dan
Girindrawardhana tewas pada tahun 1498. Sultan Fatah mengampuni putra
Girindrawardhana, Patih Udara yang masih merupakan saudaranya, dan
mengangkatnya menjadi bupati di Daha. Patih Udara sempat melakukan
pemberontakan setelah Sultan Fatah wafat pada tahun 1518, tapi pemberontakan
ini berhasil dipadamkan oleh Dipati Unus dan Patih Udara tewas.
Pemberontakan Demak ini menjadi
pemberontakan terakhir di masa Majapahit dan sekaligus mengakhiri Kerajaan
Majaphit, yang sisa-sisanya ada di Daha Kediri. Kesultanan Demak mendapatkan
legitimasi sebagai kelanjutan Kerajaan Majapahit kerena didirikan oleh Raden
Patah yang merupakan putra Bre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V.
Penulis: gus Bowie
terimakasih mas agus wibowo atas tulisannya ini..sangat jelas ringkas dan berurutan...
BalasHapusGitu doang
BalasHapusLumayan
BalasHapusAnjirrr panajang bet
BalasHapusBagus
BalasHapusSaya suka sejarah terutama sejarah Majapahit
BalasHapusSaya dari Bali
BalasHapusTerimakasih
BalasHapusTerima kasih atas informasinya, kita jadifaham sejarah..mantap...
BalasHapusPemberontakan di era pemerintahan Raden Wijaya (Ranggalawe, Sora, Nambi) pada hakikatnya bukan murni pemberontakan, mereka adalah orang-orang hebat yang berjasa untuk majapahit tpi termakan fitnah Dyah Halayuda
BalasHapusAku suka sejarah
BalasHapus