Senin, 27 Juni 2016

Sembilan Pemberontakan di Masa Majapahit

Kerajaan Majapahit dikenal sebagai kerajaan maritim besar di Indonesia, dan memiiki rentang kekuasaan sampai seluruh pulau di wilayah nusantara. Dari ujung barat sampai ke Aceh, semenanjung Malaka, bersekutu dengan kerajaan-kerajaan di Thailand, Vietnam dan Kamboja. Di Utara pengaruh kekuasaan Majapahit sampai ke Kepulauan Zulu di Selatan Philipina dan di ujung Timur sampai ke Papua. Di balik kebesaran Majapahit sebenarnya banyak terjadi pemberontakan, baik di masa awal pendirian di tahun 1293 maupun pasca kekuasaan Hayamwuruk hingga runtuhnya pemerintahan terakhir yang berpusat di Daha Kediri oleh pemberontakan Demak pada tahun 1512.

Pembenrontakan Ranggalawe 1295
Pemberontakan Ranggalawe terjadi tidak lama setelah pembentukan pemerintahan pertama Kerajaan Majapahit. Pemberotakan ini dipicu oleh rasa kecewa Ranggalawe karena Raden Wijaya, justru mengangkat Mpu Nambi sebagai Mahapatih. Senopati Ranggalawe yang dinilai paling berjasa dalam membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang dan kemudian mengusir Pasukan Mongol hanya ditunjuk menjadi Adipati di Tuban. Kemarahan Ranggalawe sempat bisa diatasi oleh kakaknya Lembu Sorayang meminta Ranggalawe untuk pulang ke Tuban untuk berunding dengan ayahnya –Aria Wiraraja.
Begitu Ranggalawe berangkat pulang ke Tuban, tidak lama kemudia Pasukan Majapahit yang dipimpin Kebo Anabrang menyusul ke Tuban. Perang antara Pasukan Mahisa Anabrang dan Pasukan Ranggalawe terjadi di Sungai Tambak Beras. Ranggalawe yang menjadi Senopati dalam perang melawan Jayakatwang dan pengusiran Tentara Mongol dikalahkan oleh Mahisa Anabrang yang menjadi Senopati dalam rombongan ekspedisi Singasari ke Kerajaan Melayu. Tapi Mahisa Anabrang kemudian tewas karena dibunuh oleh Lembu Sora.

Pemberontakan Lembu Sora (1301)
Peristiwa pemberontakan Lembu Sora ini muncul setelah rahasia pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora mulai muncul ke permukaan, mulai diketahui oleh para pejabat istana. Anak Mahisa Anabrang yang bernama Mahisa Taruna mulai menyatakan gugatan, dan mulai memunculkan pertanyaan terhadap sikap Raden Wijaya yang tidak berani bersikap tegas terhadap Lembu Sora yang telah melakukan pelanggaran etika berat. Menurut Kitab perundang-undangan jaman Majapahit, Kutaramana-wadharmasastra, kesalahannya bisa dikenakan hukuman mati.

Mengetahui kondisi makin panas, Raden Wijaya akhirnya memanggil Lembu Sora. Lembu Sora yang makin terpojok akhirnya memutuskan untuk datang menghadap Raden Wijaya, ditemani beberapa pengikutnya. Tapi kedatangan Lembu Sora ke istana Majapahit dalam rombongan besar ini dicurigai sebagai pemberontakan. Sesampai di gerbang istana, Lembu Sora disambut pasukan pengawal istana yang menyatakan bahwa Raja tidak mau menerima Lembu Sora. Perselisihan di depan istana dengan cepat berkembang menjadi pertempuran dan rombongan Lembu Sora ditumpas oleh pasukan istana.

Kitab Pararaton mulai menyebut peran Mahapatih yang berperan penting dalam peristiwa Lembu Sora. Dikisahkan bahwa dialah yang mulai membuka rahasia dan menyebarluaskan pembunuhan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora secara curang dari belakang setelah Mahisa Anabrang membunuh Ranggalawe yang tidak lain adalah adik Lembu Sora. Mahapati pula yang memberitahu Mahisa Taruna sehingga melakukan gugatan, dan dia pula yang memberikan informasi kepada Raden Wijaya bahwa Lembu Sora berniat memberontak, sehingga diputuskan untuk menumpas Lembu Sora pada saat mau menghadap Raden Wijaya.

Pemberontakan Lembu Nambi (1316)
Pemberontakan Nambi bermula dari perjalanannya mengunjungi orang tuanya Sang Pranaraja, yang memegang kekuasaan otonom untuk wilayah Majapahit di sisi timur yang berpusat di Lumajang. Pemberian wilayah otonom ini merupakan bagian dari perjanjian antara Raden Wijaya dengan Aria Wiraraja sebagai imbalan apabila penguasa Sumenep tersebut bisa membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Aria Wiraraja berhasil meyakinkan Jayakatwang untuk percaya kepada Raden Wijaya untuk membuka wilayah perburuan di Hutan Tarik, mengerahkan putra-putranya menjadi pasukan Raden Wijaya dalam memerangi Jayakatwang, mengusir Tentara Mongol, sampai mendirikan Kerajaan Majapahit.

Sampai di Lumajang, ayah Nambi yang sakit keras sudah meninggal, dan dia berduka. Sri Jayanegara yang mendengar berita meninggalnya Aria Wiraraja sang Pranaraja mengirim utusan untuk menyampaikan bela sungkawa. Cukup lama Nambi tinggal di Lumajang dan hal ini akhirnya menjadi masalah dan kecurigaan di Majapahit, bahkan sampai beredar kabar bahwa Nambi melakukan penggalangan kekuatan di Lumajang untuk memberontak kepada Majapahit. Raja Jayanegara akhirnya mengirim pasukan yang dipimpin Mahapati untuk menumpas Pemberontakan Nambi. Pemberontakan Nambi bisa dipadamkan dan istana lumajang dihancurkan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1316 atau tahun saka 1238 (dengan sengkala mukti guna paksa rupa).

Dalam Kitab Pararaton, Pemberontakan Nambi merupakan hasil rekayasa salah satu pejabat kepercayaan Jayanegara, yaitu Mahapati. Kunjungan Patih Nambi ke Lumajang merupakan usulan Mahapati yang memberi tahu bahwa Jayanegara kurang suka dengan kabar pembangunan benteng di Lumajang oleh Aria Wiraraja dan juga curiga kepada Nambi sebagai anaknya. Keputusan Nambi menambah cuti sehingga tidak segera kembali ke Majapahit juga atas usulan Mahapati waktu diutus Jayanegara untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Aria Wiraraja. Ulah Mahapati juga yang menyampaikan laporan kepada Jayanegara bahwa Nambi akan melakukan pemberontakan, sampai Jayanegara memutuskan untuk menumpas pemberontakan Nambi yang dipimpin oleh Mahapati. Setelah penumpasan pemberontakan Nambi, Mahapati diangkat menjadi Patih Majapahit menggantikan Nambi. Dalam prasasti Tuhanyaru (1323) diketahui bahwa gelar Mahapati adalah Dyah Halayudha.

Pemberontakan dalam Istana oleh Ra Kuti  dan Ra Tanca (1319)
Pemerontakan Kuti dilakukan oleh salah satu dari 7 orang kepercayaan Raden Wijaya di awal pendirian Kerajaan Majapahit. Mereka disebut sebagai Darmaputra yang terdiri dari orang-orang yang berjasa dalam pelariannya dari kejaran Pasukan Jayakatwang sampai akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit. Setelah Raden Wijaya wafat dan digantikan oleh putranya Jayanegara yang dikenal sebagai Kalagemet, para Darmaputra ini merasakan tidak diperlakukan dengan baik. Salah satu Darmaputra Ra Kuti mewujudkan ketidaksukaannya terhadap Jayanegara melalui pemberontakan dan menyebarluaskan bahwa Raja Jayanegara telah berlaku tidak sopan karena berbuat tidak senonoh kepada istrinya.  

Pemberontakan ini termasuk berhasil, bahkan sampai menguasai Istana Majapahit, dan Jayanegara sampai menyelamatkan diri keluar istana. Raja Jayanegara sampai dibawa bersembuyi di Desa Badander oleh Gajahmada. Pararaton menyatakan bahwa pemberontakan Kuti berselisih tiga tahun dengan Pemberontakan Nambi atau berlangsung sekitar 1319. Raja Jayanegara akhirnya bisa kembali berkuasa di Istana Majapahit setelah Pemberontakan Kuti bisa ditumpas. Mulai dari Pemberontakan Kuti inilah nama Gajahmada yang menjadi Komandan Pasukan Istana. Setelah memastikan pembesar istana masih mendukung Jayanegara, Gajahmada akhirnya menumpas pemberontakan Ra Kuti. Atas jasanya menyelamatkan Raja Jayanegara dan menumpas Ra Kuti, Gajahmada diangkat menjadi Patih Daha yang berkedudukan di Kediri.

Selain oleh Ra Kuti, pemberontakan oleh Darmaputra juga dilakukan oleh Ra Tanca, Darmaputra yang ahli pengobatan. Ra Tanca mendapatkan informasi dari istrinya bahwa Raja Jayanegara melarang adiknya Tribuana Tunggadewi dan bermaksud menijadikannya istri. Ketika Raja Jayanegara sakit, Ra Tanca diminta untuk mengobati raja tapi justru membunuhnya. Melihat pembunuhan yang dilakukan oleh Ra Tanca, Gajahmada langsung bertindak membunuh Ra Tanca. Menurut Pararaton, Pembunuhan Raja oleh Ra Tanca merupakan rekayasa Gajahmada. Setelah Jayanegara Tewas, penguasa Daha dimana Gajahmada menjadi Patih, yaitu Tribuana Tunggadewi diangkat menjadi Ratu bersama ibu suri Rajapadni. Gajahmada makin dekat dengan istana bahwa Tribuana Tunggadewi menjadikan Gajahmada sebagai orang tua baptis putra pertamanya Hayamwuruk.

Pemberontakan Sadeng (1331)
Setelah Tribuana Tunggadewi dilantik menjadi Ratu Majapahit sepenuhnya setelah Rajapadni mengundurkan diri untuk menjadi biksuni, Gajahmada ditawari untuk menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah yang sudah tua dan sering sakit. Dalam Pararaton dikisahkan bahwa Gajahmada tidak bersedia menjadi Mahapatih meskipun juga didukung oleh Aria Tadah yang akan digantikannya. Gajahmada menyatakan hanya bersedia menjadi Mahapatih di Majapahit apabila berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Sadeng di wilayah Timur Majapahit. Gajahmada mendapatkan mandat dari Ratu Tribuana Tunggadewi dan berhasil menumpas Pemberontakan Sadeng dan Keta –yang kini berada di daerah Jember dan sekitarnya. Wilayah Timur Majapahit yang sebelumnya berada di bawah kontrol keluarga Aria Wiraraja, disatukan kembali sepenuhnya setelah padamnya Pemberontakan Sadeng.

Setelah berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta, Gajahmada bersedia ditunjuk menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara pelantikannya menjadi Mahapatih, Gajahmada menyampaikan ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Amukti Palapa. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Gajah mada megucapkan sumpanya yang terkenal itu; Sumpah Palapa, dengan dukungan penuh Tribhuwanatunggadewi. Pelantikan Gajahmada sebagai rakryan Patih Amangkubhumi Majapahit terjadi pada tahun 1334 Masehi.

Pemberontakan Bre Wirabhumi yang Menjadi Perang Paregrek (1404)
Setelah Gajahmada menjadi Mahapatih Kerajaan Majapahit, tidak ada catatan adanya pemberontakan. Kalau pun ada peperangan, yang terjadi adalah dalam konteks ekspansi untuk perluasan kontrol atau pengaruh Majapahit ke kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah nusantara, dalam hal ini termasuk Perang Bubat yang berkaitan dengan upaya menguatkan Majapahit  dengan Kerajaan Sunda. Pemberontakan berikutnya yang terjadi di Majapahit mulai terjadi lagi setelah wafatnya Hayamwuruk.

Bre Wirabhumi yang menjadi Adipadi Blambangan melakukan pemberontakan karena merasa punya hak atas tahta Majapahit karena statusnya sebagai anak Hayamwuruk meskipun dari selir. Dia merasa lebih berhak daripada Wikramawardhana yang berstatus sebagai menantu karena menjadi suami Dewi Suhita -putri sulung Hayamwuruk. Pemberontakan ini menjadi perang besar yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang antara antara Bre Wirabhumi di Blambangan melawan Wikramawardhana yang menjadi Raja di Istana Majapahit ini berakhir pada tahun 1406 setelah Bre Wirabhumi tewas.

Peristiwa Perang Paregreg ini dikisahkan menjadi Legenda Damarwulan. Dalam legenda ini, disebutkan bahwa Ratu Kencana Ungu yang berkuasa di Majapahit menghadapi pemberontakan Minakjinggo yang menjadi penguasa Blambangan. Ratu Kencana Ungu kemudian dibantu oleh seorang pemuda bernama Damarwulan yang akhirnya berhasil mengalahkan Minakjinggo setelah berhasil mencuri senjata andalannya Gada Besi Kuning. Damarwulan kemudian menikahi Ratu Kencana Ungu dan menjadi Raja Majapahit.

Pemberontakan Bre Kertabhumi (1466)
Bre Kertabhumi putra Bre Wirabumi, atau cucuk Hayamwuruk yang menjadi Raja Negara Bawahan di Kahuripan. Karena menganggap mempunyai hak atas tahta Istana Majapahit di Wilwatikta, Bre Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap Singhawikramawardhana. Bre Kertabhumi berhasil mengalahkan pasukan Singhawikramawardhana dan menguasai Istana Majapahit di Trowulan Mojokerto. Bre Kertabumi dilantik menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya V. Selama menjadi Raja ini, Bre Kertabhumi atau Brawijaya V mengundang putranya dari selir, Raden Patah, dan menunjuknya menjadi Bupati di Glagah Wangi yang kemudian namanya diubah menjadi Demak oleh Raden Patah. 

Pemberontakan Singhawikramawardhana (1468)
Setelah lolos dari pemberontakan Bre Kertabhumi yang yang merebut Istana Majapahit di Trowulan, Girindrawardhana membangun kekuatan di Daha Kediri dan menyatakan tetap sebagai Raja Majapahit. Dalam periode 1468 sampai 1478 kerajaan Majapahit mempunyai dua Raja, yaitu Bre Kertabhumi yang berkedudukan di Istana Trowulan Majapahit dan Singhawikramawardhana yang berkedudukan di Daha Kediri. Girindrawardana gagal merebut kembali Istana Majapahit di Trowulan dan wafat pada tahun  1474 dan digantikan putranya Ranawijaya yang bergelar Girindrawardana yang melanjutkan pemberontakan terhadap Bre Kertabhumi. Pada tahun 1478 Girindrawardhana berhasil mengalahkan Bre Kertabhumi dan Majapahit kembali menjadi satu kerajaan, tapi tetap memusatkan pemerintahan Majapahit dari Daha Kediri.

Setelah menyatukan Majapahit, Girindrawardhana menambahkan gelar baginya menjadi Brawijaya VI. Tewasnya Bre Kertabhumi ini ditulis dengan candra sengkala sebagai Sirno Ilang Kertaning Bhumi, tahun 1400 tahun Saka atau 1478 tahun masehi.

Pemberontakan Demak 1478 - 1498
Setelah tewasnya Bre Kertabhumi atau Raja Brawijaya V yang merupakan ayahnya, Raden Patah dan Pendukungnya mendeklarasikan Demak sebagai kerajaan/Kesultanan Demak dan menyatakan perang terhadap Majapahit yang berpusat di Daha di bawah kekuasaan Brawijaya VI. Raden Patah dilantik sebagai Sultan Fatah yang berkuasa di Kesultanan Demak, serta ditabalkan sebagai penerus Brawijaya V. Perang Demak-Majapahit berlangsung selama 20 tahun, dan akhirnya dimenangkan oleh Kesultanan Demak, dan Girindrawardhana tewas pada tahun 1498. Sultan Fatah mengampuni putra Girindrawardhana, Patih Udara yang masih merupakan saudaranya, dan mengangkatnya menjadi bupati di Daha. Patih Udara sempat melakukan pemberontakan setelah Sultan Fatah wafat pada tahun 1518, tapi pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Dipati Unus dan Patih Udara tewas.

Pemberontakan Demak ini menjadi pemberontakan terakhir di masa Majapahit dan sekaligus mengakhiri Kerajaan Majaphit, yang sisa-sisanya ada di Daha Kediri. Kesultanan Demak mendapatkan legitimasi sebagai kelanjutan Kerajaan Majapahit kerena didirikan oleh Raden Patah yang merupakan putra Bre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V.  

Penulis: gus Bowie


11 komentar:

  1. terimakasih mas agus wibowo atas tulisannya ini..sangat jelas ringkas dan berurutan...

    BalasHapus
  2. Saya suka sejarah terutama sejarah Majapahit

    BalasHapus
  3. Terima kasih atas informasinya, kita jadifaham sejarah..mantap...

    BalasHapus
  4. Pemberontakan di era pemerintahan Raden Wijaya (Ranggalawe, Sora, Nambi) pada hakikatnya bukan murni pemberontakan, mereka adalah orang-orang hebat yang berjasa untuk majapahit tpi termakan fitnah Dyah Halayuda

    BalasHapus